coretan seputar dunia veteriner

 Menurut Alikodra (1987), Salah satu tolok ukur yang dapat dipergunakan untuk menilai keberhasilan program pelestarian dam adalah kondisi populasi (densitas) dan penyebaran suatu spesies yang dilestarikan. Jalak bali mempunyai sifat-sifat biologis yang sangat peka terhadap adanya gangguan. Jalak bali mudah mengalami stress dalam keadaan lingkungan yang tidak wajar, sehingga kemampuan berkembangbiak sering berjalan tidak normal. Burung jalak bali juga menghendaki tempat bersarang khusus di dalam lubang-lubang pada batang pohon, padahal burung jalak bali tidak mampu membuat lubang tempat sarang tersebut. Sejak tahun 1978 nampak bahwa jumlah lubang tempat sarang secara alam sudah tidak sesuai lagi dengan yang diperlukan oleh jalak bali, sehingga dibuat lubang-lubang buatan pada pohon yang memungkinkan untuk tempat bersarang burung jalak bali.

Menurut van Balen et al. (2000), konversi habitat dan penangkapan di alam yang berlebihan untuk tujuan perdagangan satwa kesayangan menyebabkan jalak bali merupakan satwa yang berada dalam ancaman kepunahan sejak tahun 1980. Ancaman kepunahan ini disebabkan oleh ukuran populasi yang terlalu kecil, habitat yang sempit dan terbatas, penangkapan secara ilegal, dan berkurangnya habitat alami. Menurut Thohari et al. (1991), burung jalak bali telah ditetapkan oleh IUCN sejak tahun 1966 dan dicatat dalam Red Data Book sebagai salah satu jenis satwa langka yang terancam punah. Pemerintah Indonesia mulai menetapkan jalak bali sebagai satwa yang dilindungi melalui Keputusan Menteri Pertanian No. 421/Kpts/Um/8/1970. Selain itu, sejak tahun 1978 jalak bali juga dimasukkan ke dalam appendix I CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Flora and Fauna) yang menetapkan pelarangan perdagangan jalak bali secara internasional.
Langkah konservasi terhadap burung jalak bali dapat dilakukan secara in-situ dan ek-situ. Konservasi ek-situ dapat dilakukan melalui penangkaran. Menurut Setio dan Takandjandji (2006), dasar hukum kegiatan penangkaran sebagai upaya konservasi ek-situ antara lain adalah UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya, UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Peraturan Pemeritah (PP) No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa, serta PP No. 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar. Kegiatan penangkaran dapat dilakukan oleh lembaga konservasi pemerintah atau swasta. Menurut Gepak (1986) dalam Thohari et al. (1991), proyek penangkaran jalak bali di Kebun Binatang Surabaya sejak tahun 1980 dilaporkan telah berhasil mengembangbiakkan jalak bali. Selain itu, pada tahun 1987 pemerintah Indonesia telah menerima sumbangan jalak bali hasil penangkaran para kolektor burung dan kebun binatang-kebun binatang di Amerika Serikat sebanyak 40 ekor yang bertujuan untuk dijadikan bibit dalam program penangkaran ataupun untuk keperluah restocking populasi ke habitat aslinya.
Menurut anonim (2009), penangkaran merupakan suatu kegiatan untuk mengembangbiakkan jenis satwa liar dan tumbuhan alam, dengan tujuan untuk memperbanyak populasinya dengan mempertahankan kemurnian jenisnya sehingga kelestarian dan keberadaannya dapat dipertahankan. Prinsip kebijakan penangkaran jenis satwa liar adalah :
–          Mengupayakan jenis-jenis langka menjadi tidak langka dan pemanfaatannya berazaskan kelestarian
–          Upaya pelestarian jenis perlu dilakukan di dalam kawasan konservasi maupun di luar habitat alaminya. Di luar habitat alami dapat berbentuk penangkaran, baik di kebun binatang maupun lokasi lainnya yang ditangani secara intensif
–          Peliaran kembali satwa hasil penangkaran ke habitat alaminya ditujukan untuk meningkatkan populasi sesuai dengan daya dukung habitatnya tanpa mengakibatkan adanya polusi genetik ataupun sifat-sifat yang menyimpang dari sifat aslinya.
Menurut Thohari et al. (1991), masalah utama yang menjadi bahan perdebatan dan pertanyaan dalam kaitan dengan upaya peliaran kembali atau pemulihan populasi (restocking) dan redistribusi jalak bali hasil penangkaran ke habitat aslinya di alam terutama menyangkut aspek genetiknya, karena terdapat asumsi bahwa jalak bali hasil penangkaran diduga telah mengalami perubahan genetik, sehingga dikhawatirkan akan berpengaruh terhadap kemurnian jalak bali di habitat alaminya.
Penyakit pada Jalak Bali
Menurut McCallum Dobson (2006) diacu dalam Crooks dan Sanjayan (2006), fragmentasi habitat inang dapat meningkatkan jarak rata-rata parasit untuk berpindah antara kelahiran dan kesuksesan kolonisasi satwa. Kondisi dimana populasi inang berubah menjadi kawasan kecil dan terfragmentasi akan menyebabkan peningkatan keberhasilan penyebaran penyakit dan akan menyebabkan peningkatan prevalensi terhadap beberapa parasit dan patogen lain.
Menurut Thompson (2001), penyakit utama yang terjadi pada populasi di penangkaran adalah atoxoplasmosis, hemochromatosis, dan chlamydia. Atoxoplasmosis merupakan penyakit yang disebabkan parasit koksidia yang menginfeksi sistem limfoid dan epitel intestinal pada burung-burung penyanyi. Infeksi pada burung berasal dari tertelannya ookista yang bersporulasi dan mempunyai efek infeksi yang berat dan kematian pada burung-burung muda antara umur 3 dan 8 minggu. Infeksi atoxoplasma pada burung dewasa cenderung bersifat asimptomatik dan sering tidak terjadi pengeluaran ookista kecuali burung mengalami stress (ketika burung dipindahkan antar kebun binatang). Sampai saat ini dipercaya bahwa indukan yang mengandung atoxoplasma akan menyebarkan ke anakan, sehingga anakan akan terinfeksi.
Menurut Thompson (2001), dua macam obat yang sekarang digunakan secara rutin untuk mengatasi tahapan hidup atoxoplasmosis yang berbeda pada jalak bali adalah sulfachlorpyrazine dan toltrazuril. Hemochromatosis atau gangguan penyimpanan zat besi menyebabkan akumulasi zat besi yang berlebihan, hal ini dapat mengakibatkan peradangan pada berbagai organ tubuh burung. Penyebab dari hemochromatosis pada burung belum diketahui secara pasti. Namun, hemochromatosis merupakan penyakit yang umum terjadi pada beberapa jenis burung jalak. Beberapa peneliti menyatakan bahwa hemochromatosis merupakan penyakit yang berkaitan dengan diet karena hasil penelitian menunjukkan bahwa penurunan konsumsi zat besi dapat menurunkan kejadian penyakit ini. Selain itu pemberian buah jeruk memberikan ketersediaan asam askorbat yang dapat meningkatkan absorpsi zat besi.

Nama          : Joli

Jenis hewan : kucing

Ras             : mix

Berat badan : 2,1 kg

Umur          :

Jenis kelamin : betina

 

Anamnesis :

  • Telinga bau
  • Nafsu makan turun
  • Feses encer
  • Dirawat sudah 1 minggu

 

Pemeriksaan Fisik (kelainan) :

  • Bulu kusam
  • Otitis
  • Mata kanan dan kiri cekung
  • Hidung keluar discharge
  • Mukosa mulut icterus
  • Hati membesar (hepatomegaly)
  • Sekitar anus kotor (diare)
  • Polyuria
  • Polydipsia
  • Weight loss (dari 2,3 kg menjadi 2,1 kg)
  • Nafsu makan bagus
  • Demam selama dua hari pertama

 

Diagnosa :

Diagnosa banding :

  • Diarrhea chronic
  • Hepatitis granulomatous
  • Hepatic lipidosis
  • Hepatic neoplasia
  • Cholangiohepatitis
  • Hemolytic anemia

 

Terapi yang sudah diberikan :

  • Ampicillin 1 g/5 ml (5 mg/kg) IM BID selama 3 hari pertama
  • Prednison 0,3 mg/kg selama 5 hari
  • Infus Ringer lactate
  • Biosalamin
  • Hematopan
  • Aquaprim (trimetoprim-sulfa)
  • Terapi antibiotik dilanjutkan dengan metronidazole 10 mg/kg PO BID dan clindamycin 10 mg/kg BID selama 3 hari berikutnya
  • Vitamin B complex tab 1/4 BID, stimuno cap 1/8 BID
  • Pakan Science Diet gastrointestinal health dan Royal canine gastrointestinal
  • Otopain

 

Pembahasan

 

Kucing dengan nama Joli masuk pada tanggal 8 Oktober 2011 dengan keluhan dari owner berupa telinganya berbau dan nafsu makan turun, serta diare. Treatment pertama dilakukan dengan pembersihan telinga, kemudian dilakukan terapi menggunakan otopain (polymixin B sulfate, neomycin sulfate, fludrocortisone acetate, dan lidocaine HCl). Telinga kucing Joli mengalami otitis yang sudah kronis. Terapi berikutnya dilakukan dengan pemberian infus RL intravena karena kondisi tubuh mengalami dehidrasi, serta injelsi betamox (amoxicillin 150 mg/ 100 ml dengan dosis 10 mg/kg IM) dan injeksi hematopan. Setelah itu dilakukan rawat inap selama 3 hari pertama untuk melihat kondisi kucing Joli.

 

Selama rawat, kucing Joli mengalami diare berair yang hampir terjadi selama 3 hari. Diagnosa yang diambil adalah diarrhea chronic dengan penyebab yang belum dapat ditentukan. Menurut Tilley dan Smith (1997), diare kronis di kucing merupakan perubahan frekuensi, konsistensi, dan volume feses lebih dari 3 minggu atau dengan pola episodic recurrence. Diare kronis dapat berasal dari usus halus atau usus besar. Sistem tubuh yang terpengaruh pada kejadian ini diantaranya adalah gastrointestinal dan endokrine/metabolic (fluid, elektrolit, dan gangguan terhadap keseimbangan asam basa).

 

Diare yang terjadi pada kucing Joli diantaranya ditandai dengan volume feses yang lebih besar daripada normal, peningkatan frekuensi defekasi, penurunan bobot badan, dan tidak disertai tenesmus. Tanda dari diare tersebut menurut Tilley dan Smith (1997) merupakan diare yang berasal dari usus halus. Hasil pemeriksaan fisik diperoleh hasil berupa icterus, menurut Tilley dan Smith (1997), merupakan indikasi dari hepatic lipidosis, FIP, hepatic neoplasia, dan penyakit biliary. 

 

Menurut Tilley dan Smith (1997), penyebab dari chronic diarrhea diantaranya adalah inflammatory bowel disease (lymphoplasmacytic enterocolitis, granulomatous enteritis, eosinophilic enteritis/hypereosinophilic syndrome), neoplasia (lymphoma, adenocarcinoma, mast cell tumor, dan polips), obstruksi (neoplasia, foreign body, inflammatory bowel disease, intussusception, dan stricture), parasitic (giardia, Toxoplasma gondii, Toxocara cati, Dirofilaria immitis, dan Cryptosporidium spp.), metabolic disorder (hypertiroidism, renal disease, hepatic disease, diabetes melitus, toksin, dan drug administration), bacterial causes (Campylobacter jejuni, Salmonella spp., Yersinia pseudotuberculosis, dan Clostridium perfringens), viral causes (FeLV, FIV, FIP), mycotic causes (histoplasmosis, mycobacteriosis, phycomycosis, dan aspergillosis), noninflammatory malabsorption (lymphangiectasia, small intestinal bacterial overgrowth, short bowel syndrome, villous atrophy, dan ulcer duodenum), maldigesti (hepatobiliary disease dan exocrine pancreatic insuficiency [jarang di kucing]), dietary (dietary sensitivity, dietary indiscretion, dan perubahan diet), serta congenital anomalies (short colon, portosystemic shunt, dan persistent pancreaticomesojejunal ligament).

 

Diagnosa banding yang diambil salah satu diantaranya adalah cholangiohepatitis, karena berdasarkan pemeriksaan fisik diperoleh hasil terjadinya icterus dan hepatomegaly. Selain itu, gejala lain yang teramati diantaranya adalah depresi, weight loss, diarrhea, dan nafsu makan masih baik. Menurut Tilley dan Smith (1997), gejala klinis yang dijumpai tersebut merupakan beberapa gejala dari cholangiohepatitis. Menurut Tilley dan Smith (1997), terapi yang dapat diberikan diantaranya adalah amoxicillin (11-22 mg/kg q8h) yang mempunyai aktivitas terhadap bakteri gram negatif aerobik dan juga mempunyai aktivitas yang bagus terhadap bakteri anaerob, aminoglycosida (gentamycin 2,2 mg/kg q8h atau kanamycin 5 mg/kg q8h-q12h) yang mempunyai aktivitas bagus terhadap bakteri gram negatif (harus dikombinasikan dengan amoxicillin untuk infeksi sistemik), metronidazole (10-15 mg/kg q8h-q12h) untuk mengatasi infeksi anaerob (dapat diberikan bersama amoxicillin dan aminoglycosides).

Signalement

 

Nama Pasien                          : Diego

Jenis Hewan                           : Anjing

Ras/Breed                               : German Shepherd

Warna Rambut dan Kulit   : Coklat dan hitam

Jenis Kelamin                         : Jantan

Bobot Badan                           : 32,8 kg

Tanggal Datang                      : 3 Nopember 2010

 

Anamnesis : Luka terbuka di daerah sekitar anus selama ± 3

bulan yang lalu

 

Status Present

Perawatan                               : baik

Tingkah laku                            : jinak

Gizi                                             : baik

Pertumbuhan                          : baik

Sikap berdiri                            : tegak pada keempat kaki

Frekuensi napas                     : 28 kali/menit

 

Kulit dan Bulu

Aspek bulu                              : kusam

Kerontokan                              : ada

Kebotakan                               : tidak ada

Turgor kulit                              : sedang

Permukaan kulit                      : rata dan terdapat infestasi caplak

Bau kulit                                  : khas

 

Kepala dan Leher

Ekspresi wajah                       : apatis

Pertulangan kepala                 : tegas

Posisi tegak telinga                 : telinga tegak keduanya

 

Palpasi

Palpebrae                                : membuka dan menutup sempurna pada kedua

mata

Cilia                                         : keluar sempurna pada kedua mata

Conjunctiva                             : rose pada kedua mata

Membrana nictitans                : tersembunyi pada kedua mata

 

Sclera                                      : putih pada kedua bola mata

Cornea                                    : bening pada kedua bola mata

Limbus                                                : rata pada kedua bola mata

Pupil                                        : mengecil pada kedua bola mata

Refleks pupil                           : ada pada kedua bola mata

Vasa injectio                            : tidak ada pada kedua bola mata

Hidung dan sinus                    : tidak ada discharge

 

Mulut dan Rongga Mulut

Rusak/luka bibir                      : tidak ada

Mukosa                                    : rose

Gigi geligi                                 : lengkap

Lidah                                       : rose

 

Telinga

Posisi                                      : tegak pada kedua telinga

Bau                                          : khas cerumen

Permukaan daun telinga         : rata

Krepitasi                                  : ada

Reflek panggilan                     : ada

 

Sistem Pernapasan

Bentuk rongga thorax              : simetris

Tipe pernapasan                     : costal

Ritme                                      : teratur

Intensitas                                 : tidak ada perubahan

Frekuensi                                : 28 kali/menit

Trachea                                   : teraba dan tidak ada batuk

Penekanan rongga thoraks     : tidak sakit

 

Abdomen dan Organ Pencernaan

Inspeksi

Besar                                      : tidak ada perubahan

Bentuk                                     : simetris

Suara peristaltik lambung       : tidak terdengar

 

Anus

sekitar anus                            : kotor

Glandula perianalis                 : bengkak dan mengalami perlukaan (ulcer)

Kebersihan daerah perineal    : bersih

 

Alat Gerak

Perototan kaki depan              : tidak ada perubahan

Perototan kaki belakang          : tidak ada perubahan

Spasmus otot                         : tidak ada

Tremor                                                : tidak ada

Cara bergerak-berjalan           : koordinatif

 

Konsistensi pertulangan         : kompak

Reaksi saat palpasi                : tidak ada rasa sakit

 

Diagnosa : Fistula perianal

Prognosa                               : Dubius

Terapi : –     Chlorhexidine

–          Rivanol

–          Nebacetyn

–          Enbatic topical

 

PEMBAHASAN

Anjing ras German Shepherd yang bernama Diego berdasarkan data rekam medis di Direktorat Satwa Polri telah mengalami kondisi pembengkakan dan perlukaan di daerah perianal sejak tanggal 2 Agustus 2010. Kondisi tersebut menyebabkan tidak dapat dilakukan pemeriksaan temperatur rektal pada anjing Diego. Walaupun terjadi gangguan di daerah perianal, anjing Diego masih memperlihatkan aktivitas yang normal serta nafsu makan dan konsumsi air minum yang tidak mengalami perubahan.

Hasil pemeriksaan fisik menunjukkan adanya kelainan di daerah perianal. Daerah perianal mengalami kebengkakan dan juga tedapat perlukaan. Di lokasi tersebut sering terdapat discharge berupa darah atau discharge mukopurulenta. Selain itu, terlihat adanya rasa sakit di lokasi tersebut ketika dilakukan pemeriksaan fisik dengan palpasi pada daerah perianal tersebut yang ditandai dengan anjing memperlihatkan rasa ketidaknyamanan ketika dilakukan pemeriksaan fisik. Berdasakan hasil pemeriksaan fisik maka diagnosis dari kondisi Diego adalah fistula perianal. Menurut Kelly (1984), fistula perianal lebih sering terjadi pada anjing ras german shepherd. Menurut Tilley dan Smith (2000), breed predisposisi dari fistula perianalis adalah anjing ras german shepherd dan irish setter dengan umur antara 7 bulan sampai 12 tahun.

Gejala klinis yang ditemukan dari anjing Diego adalah diare yang ditandai oleh keadaan sekitar anus yang kotor, pembengkakan daerah perianal, abses di daerah perianal, anjing sering menjilat daerah perianal, adanya discharge mukopurulentayang keluar dari daerah perianal yang luka, nyeri/kesakitan di daerah perianal, serta anjing memperlihatkan sikap tidak mau untuk duduk. Menurut Patterson dan Campbell (2005), canine anal furunculosis (fistula perianal) merupakan penyakit kronis pada daerah perianal, anal, dan jaringan rektum yang ditandai dengan adanya ulcer. Penyebab dari kondisi ini masih belum diketahui dengan pasti. Namun, kondisi ini kemungkinan disebabkan oleh gangguan sistem imun. Penegakkan diagnosa dari fistula perianal biasanya dari anjing ras german shepherd yang menunjukkan adanya lesio perianal.

Menurut House et al. (2006), fistula perianal pada anjing merupakan penyakit kronis dan progresif yang dicirikan oleh adanya fistula cutaneus dan fistula rectocutaneus, serta dicirikan oleh adanya ulcerasi di jaringan perianal. Gejala klinis dari fistula perianal diantaranya adalah tenesmus, dyschezia, konstipasi, dan discharge mukopurulenta dari perineum. Menurut Tilley dan Smith (2000), fistula perianal dicirikan oleh adanya jalur fistula kronis atau ulcer pada sinus yang melibatkan regio perianal, kondisi ini dapat disebabkan oleh beberapa hal diantaranya adalah peradangan kelenjar apokrin (hidradenitis suppurativa), impaksi dan infeksi sinus atau kripta anus, infeksi circumanal glands dan folikel rambut, serta anal sacculitis. Selain itu, kondisi ini juga sering berkaitan dengan keadaan kolitis pada anjing ras german shepherd. Kondisi ini menyebabkan keterlibatan sistem gastrointestinal ketika jaringan luka yang berlebihan di sekitar anus menghasilkan tenesmus, dyschezia, atau masalah-masalah lain yang berkaitan dengan defekasi. Gejala klinis dari fistula perianal diantaranya adalah dyschezia, tenesmus, hematochezia, konstipasi, diare, discharge mukopurulenta yang berbau, rasa sakit ketika menggerakkan ekor, menjilat bagian anus, kesulitan untuk duduk, fecal incontinenece, anorexia, penurunan bobot badan, serta adanya saluran fistula perianal. Selain itu, menurut Rubin dan Carr (2007), fistula perianal menyebabkan ulserasi di daerah peranal, anal, dan jaringan perirektal. Kondisi ini umumnya menunjukkan gejala kelainan pada usus besar, diantaranya adalah tenesmus, dyschezia, dan peningkatan frekuensi defekasi. Daerah yang mengalami gangguan (fistula perianal) akan terasa sakit dan dihasilkan discharge purulenta atau hemorrhagica.

Etiopatogenesis dari fistula perianal masih belum diketahui dengan jelas. Salah satu hipotesis menyebutkan bahwa posisi ekor yang turun akan menyebabkan peningkatan kelembaban, akumulasi bakteri dari feses, rectal mucus, atau akumulasi anal sac mucus di regio perianal sehingga dapat mengakibatkan terjadinya peradangan dan infeksi pada kulit sekitar anus dan adnexa. Anatomi makroskopis dan mikroskopis zona anocutaneus dari anjing German Shepherd pada umumnya sama dengan anjing-anjing ras yang lain, tetapi anjing ras German Shepherd mempunyai kelenjar apokrin perianal dengan kepadatan yang tinggi. Namun, kondisi tersebut masih belum jelas hubungan antara kelenjar keringat dengan perkembangan fistula perianal. Kemungkinan lain adalah keadaan hipotiroidisme atau sindrom imunodefisiensi dapat menyebabkan fistula perianal, tetapi dalam studi lain mengatakan bahwa tidak terdapat perbedaan pada hasil tes stimulasi tiroid dan konsentrasi serum IgA antara anjing yang normal dengan anjing yang sakit. Etiologi yang lain dari fistula perianal adalah impaksi dan infeksi pada sinus anal atau kripta anal, peradangan dan nekrosis pada kelenjar apokrin (hidradenitis suppurativa), infeksi kelenjar circumanal atau folikel rambut (folikulitis), infeksi anal sac dan abses anal sac, serta hipotiroidisme (Ellison 2008).

Menurut Patterson dan Campbell (2005), penyebab umum dari fistula perianal adalah konformasi regio perianal dan ekor yang buruk (posisi ekor yang turun), anal crypt fecalith impaction yang menghasilkan kondisi abses, penyebaran infeksi dari kelenjar anal (anal sac), trauma, dan reaksi terhadap benda asing. Teori saat ini mengatakan bahwa proses penyakit ini disebabkan oleh multifactorial immune mediated disease. Kondisi ini dapat menyebabkan fistula perianal (canine anal furunculosis) dan Crohn’s disease dari terjadinya terhadap penurunan regulasi respon imun. Crohn’s disease dapat menghasilkan ketidakseimbangan respon imun inang terhadap trigger di usus. Karena anjing german shepherd dengan keadaan fistula perianal sering diikuti oleh kondisi klinis maupun histologi kolitis (inflammatory bowel disease) dan enteral trigger (dietary antigen, antigen bakterial, dan superantigen) yang dapat menyebabkan furunkulosis. Anjing german shepherd dengan kondisi fistula perianal dilaporkan sering diikuti oleh keadaan inflammatory bowel disease. Hal ini dimungkinkan oleh susunan genetik dari anjing german shepherd dapat memproduksi respon imun proinflammatory yang tinggi, sehingga menyebabkan immune-mediated disease. Faktor lain penyebab dari fistula perianal adalah folikulitis stafilokokal. Berdasarkan evaluasi histologi, lesio fistula perianal awal menunjukkan reaksi peradangan pada epidermis tanpa ulcer epidermis yang terjadi bersamaan. Apabila reaksi peradangan mengalami peningkatan, folikulitis/furunkulosis dan saluran sinus yang tidak bercabang berkembang menuju dermis perianal. Ulcer epidermal superficial dan percabangan saluran sinus menyebabkan selulitis menuju ke seluruh jaringan perianal. Saluran sinus kemudian dilapisi oleh epitel squamous dan terjadi nfiltrasi oleh campuran dari limfosit, sel plasma, makrofag, neutrofil, dan eosinofil. Apabila lesio perianal berkembang maka nodule limfoid perifer akan berkembang.

Diferensial diagnosa dari fistula perianal (canine anal furunculosis) adalah abses anal sac, adenoma perianal, anal sac adenocarcinoma, squamous cell carcinoma, rectal neoplasia, atypical bacterial infection, mikosis, dan oomycosis (Patterson dan Campbell 2005). Abses anal sac dicirikan oleh kondisi demam dan gejala infeksi pada anal sac. Gejala lain yang dapat dilihat adalah pembengkakan yang biasanya terjadi pada salah satu sisi, pembengkakan tersebut pada awalnya berwarna merah kemudian berkembang menjadi keunguan (Eldredge et al. 2007).

Terapi terhadap pasien fistula perianal yang dilakukan di Direktorat Satwa Polri adalah dengan menggunakan chlorhexidine, rivanol, Nebacetyn®, dan Enbatic® topical. Chlorhexidine dan rivanol digunakan sebagai antiseptik untuk membersihkan luka/ulcer, sedangkan Nebacetyn® dan Enbatic® digunakan sebagai antibiotik topikal pada daerah ulcer tersebut. Menurut Ellison (2008), higiene lokal terhadap fistula perianal (canine anal furunculosis) meliputi pembersihan/pencukuran bulu di sekitar perianal dan pembersihan daerah perianal dengan menggunakan larutan povidon iodine 1% atau larutan chlorhexidine gluconate 0,5%, pembersihan dengan povidone iodine dan chlorhexidine gluconate tersebut berfungsi untuk menurunkan peradangan suppurativa yang terjadi tetapi tidak menyebabkan kesembuhan fistula perianal. Selain itu, pengikatan ekor ke samping atau ke atas tubuh dapat memberikan aerasi yang baik di regio perianal, sehingga dapat menyebabkan kesembuhan ulcer di superficial. Pemberian antibiotik topikal atau antibiotik sistemik dapat membantu mengurangi infeksi sekunder oleh bakteri, tetapi penggunaan jangka panjang antibiotik ini belum tepat karena bakteri bukan merupakan penyebab utama dari fistula perianal.

Terapi untuk mengatasi fistula perianal dapat dilakukan dengan menggunakan obat-obatan dan terapi bedah. Terapi medis terhadap fistula perianal harus diusahakan dengan menggunakan terapi bedah. Beberapa terapi dengan obat-obatan yang digunakan adalah prednison dengan pakan yang bersifat hipoalergenik seperti diet ikan dan kentang, cyclosporin, topical tacrolimus, serta azathioprine dan metronidazole. Prednison biasanya diberikan pada fistula perianalis yang berkaitan dengan inflammatory bowel disease, prednison tersebut diberikan dengan dosis tinggi (2 mg/kg BB s1dd selama 2 minggu dan diikuti tambahan prednison dengan dosis 1 mg/kg BB s1dd sampai 4 minggu). Cyclosporin merupakan agen imunosupresif kuat yang menyebabkan efek samping minimal, cyclosporin dapat menyebabkan supresi fungsi sel T helper ketika diberikan dengan dosis 2 – 3 mg/kg BB s2dd selama 12 minggu. Terapi lain adalah tacrolimus yang merupakan obat dengan sifat imunosupresif dengan aktivitas yang sama dengan cyclosporin. Kombinasi azathioprine dan metronidazole merupakan obat yang bersifat imunosupresif dan merupakan antibiotik yang bersifat anti anaerob. Azathioprine diberikan dengan dosis 50 mg s1dd dan metronidazole diberikan dengan dosis 400 mg s1dd sampai 6 minggu. Sedangkan terapi bedah yang dapat dilakukan adalah anal sacculectomy, cryosurgery, caudectomy, dan laser excision (Ellison 2008). Prednison merupakan glukokortikoid sintetik. Dosis penggunaan prednison untuk imunosupresan adalah 2,2 mg/kg BB s2dd sampai kondisi membaik (Plumb 1999). Cyclosporine merupakan obat yang bersifat immunosuppresif dengan menekan induksi sel T limfosit. Dosis cyclosporin pada anjinga adalah sebesar 3 – 7 mg/kg BB peroral s2dd (Tilley dan Smith 2000).

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik dapat disimpulkan bahwa pasien anjing german shepherd yang bernama Diego di Direktorat Satwa Polri mengalami fistula perianal (canine anal furunculosis). Saran yang dapat diberikan dalam penanganan fistula perianal yaitu dilakukan peneguhan diagnosa dengan biopsi, serta penanganan fistula perianal diperluas dengan terapi diet dan terapi bedah.

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Eldredge DM, Carlson LD, Carlson DG, Giffin JM. 2007. Dog Owner’s Home Veterinary Handbook 4 th Ed. Wiley Publishing, Inc. New Jersey.

Ellison GW. 2008. Perianal Fistulas/Anal Furunculosis; A Medical Disease That Sometimes Need Surgery. http://surgery.acvsc.org.au/ surgery_assets/science%20week%202008/perianal%20fistulas%20or%20furunculosis.pdf [20 Nopember 2010].

House AK, Guitian J, Gregory SP, Hardie RJ. 2006. Evaluation of the effect two dose rates of cyclosporine on the severity of perianal fistulae lesions and associated clinical signs in dogs. Veterinary Surgery. 35: 543-549.

Kelly WR. 1984. Veterinary Clinical Diagnosis 3rd Ed. Bailliere Tindall. London.

Patterson AP, Campbell KL. 2005. Managing Anal Furunculosis in Dogs. http://www.hungarovet.com/wp-content/uploads/2009/04/canine-anal-furunculosis-perianal-fistula-compendium.pdf [20 Nopember 2010].

Plumb DC. 1999. Veterinary Drug Handbook 3rd Ed. Phamma Vet Publishing. Minnesota.

Rubin SI, Carr AP. 2007. Canine Internal Medicine Secrets. Mosby Elsevier. USA.

Tilley LP, Smith FWK. 2000. The 5 Minute Veterinary Consult Ver. 2. Lippincott Williams & Wilkins. USA.

 

 

Indonesia di mata dunia dikenal sebagai megabiodiversity country. Kondisi ini disebabkan oleh Indonesia merupakan negara yang menjadi tempat terkonsentrasinya keanekaragaman hayati dunia. Indonesia adalah negara kepulauan yang terletak dalam lintasan distribusi keanekaragaman hayati benua Asia (Sumatera, Jawa, Kalimantan dan pulau-pulau disekitarnya), benua Australia (Papua dan pulau-pulau disekitarnya) dan wilayah peralihan Wallacea (Sulawesi, Maluku dan Nusa Tenggara), sehingga Indonesia dikatakan sebagai salah satu kawasan pusat keragaman hayati yang terkaya di dunia. Indonesia mempunyai 25.000 spesies tumbuhan berbunga (10% dari tumbuhan berbunga dunia), 515 spesies mamalia (12% dari jumlah mamalia di dunia), 1500 spesies burung, 600 spesies reptilia dan 270 spesies amfibi.

Adanya keanekaragaman hayati yang berlimpah juga telah memberi warna tersendiri bagi perkembangan budaya nusantara, dimana budaya-budaya yang tumbuh telah melukiskan dengan baik keadaan alam nusantara. Indonesia adalah Salah satu contoh yang baik dari kawasan yang kaya akan  keanekaragaman hayati. Negara-negara lain pun ataupun kawasan-kawasan lain pun juga tak kalah menariknya dengan Indonesia. Kondisi ini terutama dapat dilihat di kawasan Asia Tenggara yang lain, India, Afrika dan kawasan Amerika Latin. Kawasan-kawasan tersebut pun telah memberi corak kehidupan bagi hijau dan birunya planet bumi. Beranekaragamnya biodiversitas kawasan-kawasan yang telah disebutkan tersebut dikarenakan oleh adanya iklim yang sama yaitu tropis dan sebagian kecil subtropis. Kawasan tropis identik dengan hutan rimba yang lebat, fauna-fauna yang eksotik, wilayah yang hangat sepanjang tahun, pemandangan alam yang menakjubkan dan budaya yang menawan. Kemungkinan kondisi ini disebabkan oleh keadaan iklim yang lebih stabil sehingga memungkinkan menjadi tempat hidup yang baik bagi sebagian besar organisme planet bumi

Akhir-akhir ini, isu lingkungan terbesar adalah hilangnya keanekaragaman hayati terutama di negara-negara tropis yang mempunyai keanekaragaman hayati terbesar. Kerusakan dan hilangnya keanekaragaman hayati sudah mencapai tingkat yang membahayakan dengan perkiraan apabila penebangan hutan terjadi terus menerus maka sekitar 5 – 10 % spesies yang ada di dunia akan punah setiap sepuluh tahun sampai 30 tahun mendatang. Ada beberapa hal yang menjadi penyebab kerusakan keanekaragaman hayati di Indonesia dan dunia, yaitu adanya pembalakan liar, pembangunan besar-besaran/mega proyek seperti pembuatan jalan raya yang menembus hutan ataupun kawasan konservasi, pembangunan bendungan/waduk secara besar-besaran yang mengambil sebagian atau seluruh kawasan konservasi dan kegiatan pertambangan di kawasan konservasi atau taman nasional serta adanya perkebunan yang menggantikan heterogenitas tanaman hutan.

Selain itu, penyebab kerusakan keanekaragaman hayati yang tak kalah hebatnya adalah kepentingan ekonomi dimana terjadi peningkatan kegiatan industri yang selama ini cenderung tidak ramah lingkungan. Kegiatan ekonomi selama ini yang terjadi di Indonesia dan dunia hanyalah upaya untuk mengejar keuntungan sebesar-besarnya dengan cara eksploitasi alam dan lingkungan melalui peningkatan industrialisasi. Dengan hadirnya kemajuan teknologi untuk mendukung kegiatan ekonomi negara, maka eksploitasi alam pun semakin meningkat, misalnya munculnya upaya untuk menggantikan keanekaragaman menjadi keseragaman dan monokultur pada sektor kehutanan, perikanan, pertanian dan peternakan melalui penerapan revolusi hijau dalam bidang pertanian, revolusi putih dalam bidang perusahaan peternakan (perusahaan susu) dan revolusi biru dalam bidang perikanan yang tujuan akhirnya adalah keuntungan ekonomi sebesar-besarnya.

Kerusakan sumberdaya hayati di planet bumi yang telah ditunjukkan terutama negara-negara di kawasan tropis, terutama Indonesia akan terus berlanjut apabila belum adanya kesadaran dari semua pihak, baik masyarakat ataupun pemerintah sebagai pembuat kebijakan. Untuk menghentikan kerusakan alam yang sudah tidak wajar ini setidaknya diperlukan semangat dan  idealisme tinggi untuk penyelamatan alam atau dalam kata lain diperlukan suara-suara baru yang menyuarakan ketidakadilan yang diterima planet bumi.

Apabila populasi masyarakat bumi saat ini semakin meningkat, maka tak diragukan lagi bahwa laju kerusakan alam dan sumberdaya hayati bumi akan meningkat pula dengan tajam karena kecenderungan manusia yang selalu berpikiran “ekonomi” tanpa disertai kesadaran “koservasi alam”. Kondisi seperti ini haruslah diimbangi dengan munculnya manusia-manusia yang berani menyuarakan ketidakadilan yang dialami planet bumi. Menyuarakan pun harus disertai suatu bukti, bukti tersebut dapat diperoleh melalui kajian atau riset yang mendalam tentang keanekaragaman hayati, kekayaan alam dan dampak perilaku manusia terhadap alam dan lingkungan. Setelah kajian berhasil memberi bukti, maka langkah selanjutnya adalah memberikan pemahaman kepada masyarakat umum atau peningkatan public awarenes mengenai alam, lingkungan dan keanekaragaman hayati.

Apabila hal ini dilakukan maka masa depan planet bumi akan lebih baik. Kita harus selalu berpikiran bahwa kekayaan alam yang ada di planet bumi ini adalah titipan untuk generasi masa depan, bukanlah warisan.

Definisi

Ketosis adalah penyakit yang umum terjadi pada ternak dewasa. Ketosis dapat terjadi pada sapi perah ketika masa awal laktasi dan dicirikan oleh anoreksia dan depresi. Ketosis jarang terjadi pada masa kebuntingan akhir dan kasusnya menyerupai pregnancy toksemia pada domba. Ketosis tersebar di seluruh dunia, tetapi sering terjadi pada sapi perah dengan produksi susu tinggi. Semua sapi perah pada masa awal laktasi (6 minggu pertama) mempunyai resiko yang tinggi terhadap ketosis. Insidensi ketosis pada saat laktasi berkisar antara 5 – 16 %. Sapi dengan jaringan adiposa yang berlebihan (body condition score ≥ 3,75) pada saat beranak mempunyai resiko ketosis yang tinggi. Sapi laktasi dengan hiperketonemia (ketosis subklinis) akan meningkatkan resiko terjadinya ketosis klinis. Badan-badan keton meliputi aseton, asetoasetat, dan beta-hidroksibutirat.

Diagnosis klinis dari ketosis didasarkan pada keberadaan faktor resiko yaitu masa laktasi awal, gejala klinis yang muncul, dan badan keton di urine dan susu. Ketika diagnosis ketosis ditentukan maka seluruh pemeriksaan fisik harus ditentukan karena ketosis sering terjadi bersamaan dengan penyakit-penyakit peripartum, khususnya displasia abomasum, tertahannya membran fetus, dan metritis. Selain itu, rabies dan penyakit saraf lain merupakan diagnosa pembanding yang penting untuk diperhatikan.

 

Gejala klinis

Gejala klinis yang sering terjai pada ketosis adalah disfungsi saraf, pica, menjilat secara abnormal, langkah kaki yang abnormal dan inkoordinasi, melenguh, serta bersifat agresif. Ternak (sapi perah) yang partus dan asupan pakan yang rendah merupakan tanda awal terjadinya ketosis. Sapi yang menderita ketosis sering menolak pakan biji-bijian sebelum pemberian hijauan. Pada kelompok ternak akan telihat adanya penurunan produksi susu, lethargy, dan kosongnya abdomen. Ketika dilakukan pemeriksaan fisik akan didapatkan bahwa tidak terjadi demam dan sedikit dehidrasi. Sedangkan kelainan pada motilitas rumen sangat bervariasi antar sapi, serta sapi akan terlihat hiperaktif atau hipoaktif. Sedangkan pada banyak kasus ketosis tidak terlihat adanya kelainan secara fisik. Gangguan CNS merupakan kasus yang minoritas.

Patogenesa

Patogenesa dari ketosis belum diketahui secara pasti, tetapi ketosis terjadi dari kombinasi anatara mobilisasi adiposa yang hebat dan kebutuhan glukosa yang tinggi pada tubuh. Kedua kondisi tersebut dapat terjadi pada masa laktasi awal. Mobilisasi adiposa seiring dengan konsentrasi nonesterified fatty acids (NEFA) di serum darah. Selama periode glukoneogenesis, sebagian besar serum NEFA akan disintesis menjadi badan keton di hati. Secara patologi klinik dapat dicirikan oleh konsentrasi serum NEFA yang tinggi dan badab keton, serta konsentrasi glukosa yang rendah.

Selain itu terdapat kemungkinan bahwa patogenesis dari ketosis terjadi segera setelah postpartus. kasus ketosis pada masa awal laktasi biasanya berkaitan dengan fatty liver. Fatty liver dan ketosis kemungkinan bagian dari kondisi yang berkaitan dengan mobilisasi lemak yang hebat pada ternak. Kasus ketosis juga terjadi pada masa puncak produksi susu, yang biasanya terjadi sekitar 4 – 6 minggu postpartus, dan hal ini kemungkinan terkait dengan pakan yang rendah sehingga menyebabkan terjadinya glukoneogenesis yang menghasilkan mobilisasi lemak yang hebat.

Pengobatan

Pengobatan pada kasus ketosis bertujuan untuk meningkatkan normoglisemia dan menurunkan konsentrasi badan-badan keton serum. Pengobatan terhadap ketosis dapat diberikan bolus dextrose 50 % intravena sebanyak 500 ml yang merupakan terapi umum. Larutan tersebut bersifat hiperosmotik dan apabila diberikan secara perivaskular akan menyebabkan pembengkakan jaringan dan iritasi jaringan. Terapi bolus glukosa dapat secara umum menghasilkan recoveri yang cepat, khususnya kasus yang terjadi mendekati puncak laktasi. Pemberian preparat glukokortikoid, seperti dexamethason atau isoflupredone acetate sebanyak 5 – 2 mg/dosis secara IM dapat menghasilkan respon yang baik. Terapi glukokortikoid dan glukosa dapat diberikan berulang jika diperlukan. Propylene glycol (250 – 400 g/dosis, secara PO) dapat berperan sebagai prekursor glukosa dan mungkin efektif untuk terapi ketosis, khususnya pada kasus ringan atau diberikan secara kombinasi dengan terapi yang lain. Propylene glycol dapat diberikan dua kali sehari, serta dosis yang berlebihan dapat menyebabkan penekanan pada CNS.

Kasus ketosis yang terjadi pada 1 – 2 minggu pertama beranak susah untuk dilakukan terapi daripada kasus ketosis yang terjadi mendekati puncak laktasi. preparat insulin yang bersifat long-acting secara IM dengan dosis 150 – 200 IU/hari dapat digunakan untuk mengatasi kondisi ini. Insulin akan menekan mobilisasi adiposa dan ketogenesis, tetapi terapi ini harus diberikan secara kombinasi dengan glukosa atau glukokortikoid untuk mencegah hipoglisemia.

Pencegahan dan kontrol

Pencegahan ketosis dapat dilakukan dengan manajemen nutrisi. Selain itu kondisi tubuh juga harus diperhatikan pada laktasi akhir, serta ketika sapi menjadi terlalu gemuk. Karena periode kering kandang merupakan cara yang terlambat untuk menurunkan body condition score maka penurunanan body condition score mungkin kurang berhasil sehingga dapat menghasilkan mobilisasi adiposa yang berlebihan.

Sapi cenderung mengurangi konsumsi pakan pada 3 minggu akhir kebuntingan, sehingga manajemen nutrisi harus bertujuan untuk mengurangi penurunan asupan pakan pada sapi. Asupan pakan harus selalu diperhatikan dan rasio pakan harus disesuaikan untuk memaksimalkan bahan kering dan konsumsi energi pada akhir kebuntingan. setelah partus, maka nutrisi harus ditingkatkan konsumsi pakan dan energi. Rasio pakan yang diberikan adalah peningkatan konsentrasi karbohidrat nonserat, tetapi mengandung serat untuk menjaga kesehatan rumen dan asupan pakan. Beberapa zat aditif seperti niasin, kalsium propionat, sodium propionat, propilen glikol, dan choline pelindung rumen merupakan bahan-bahan yang dapat digunakan untuk manajemen ketosis. Bahan-bahan tersebut dapat diberikan pada 2 – 3 minggu akhir kebuntingan, yang merupakan periode rentan terhadap kejadian ketosis.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2008. Ketosis in Cattle. http:// www.merckvetmanual.com/mvm/index.jsp@cfile=htm_2Fbc_2F80900. htm [5 Desember 2009].

Endometritis pada Sapi

Endometritis merupakan peradangan pada lapisan mukosa uterus (Boden 2005). Menurut Ball dan Peters (2004), endometritis merupakan peradangan pada endometrium dan membran mukosa uterus yang sering disebabkan oleh adanya infeksi bakteri. Menurut Noakes et al. (2001), endometritis dan metritis merupakan salah satu penyebab kemajiran pada ternak.
Endometritis pada ternak dapat dibedakan menjadi dua, yaitu endometritis klinis dan endometritis subklinis. Secara klinis, endometritis lebih prevalen pada sapi-sapi yang mature. Sapi dengan endometritis dapat didiagnosa berdasarkan palpasi perektal dengan hasil berupa tidak terabanya struktur ovarium. Sedangkan endometritis subklinis dapat didefinisikan sedagai inflamasi pada uterus yang biasanya ditentukan dengan pemeriksaan sitologi, tidak adanya eksudat purulenta di vagina. Endometritis subklinis biasanya terjadi ketika proses involusi sudah lengkap (sekitar 5 minggu pospartus). Endometritis subklinis dapat didiagnosa dengan pengukuran perbandingan neutrofil pada sample flushing lumen uterus pada volume rendah (20 ml) dengan menggunakan larutan saline steril (Divers dan Peek 2008). Menurut LeBlanc et al. (2002) diacu dalam Ball dan Peters (2004), identifikasi endometritis klinis dapat dilakukan dengan melihat adanya discharge purulent pada uterus atau diameter cervix sekitar 7,5 cm setelah 20 hari pospartus (selama laktasi), selain itu juga dapat terlihat adanya discharge mucopurulent setelah lebih dari 26 hari postpartus.
Beberapa penyakit yang berkaitan dengan kondisi endometritis pada sapi diantaranya adalah brucellosis, leptospirosis, campylobacteriosis, dan trichomoniasis. Selain itu, endometritis juga disebabkan oleh infeksi yang nonspesifik. Mikroorganisme penyebab endometritis pada sapi adalah Brucella sp., Leptospira sp., Campylobacter, Trichomonas, Arcanobacterium (Actinomyces) pyogenes, dan Fusobacterium necrophorum atau organisme gram negatif anaerob lainnya (Anonim 2008a). Menurut Noakes et al. (2001), derajat kontaminasi bakteri pada uterus sering terjadi selama partus dan setelah partus, serta dapat terjadi ketika coitus dan inseminasi. Infeksi yang persisten tergantung pada derajat kontaminasi bakteri, mekanisme pertahanan inang, dan keberadaan substrat untuk pertumbuhan bakteri.
Uterus normal merupakan lingkungan yang bersifat steril, sedangkan vagina merupakan lingkungan yang tidak steril karena mengandung banyak mikroorganisme. Patogen yang bersifat oportunistik dari flora normal vagina atau dari lingkungan luar dapat masuk ke dalam uterus. Uterus pada kondisi normal dapat melakukan pembersihan secara efisien terhadap mikroorganisme yang masuk dari vagina atau lingkungan luar. Namun, uterus pada saat postpartus biasanya terkontaminasi oleh beragam mikroorganisme dan ketika terjadi infeksi yang bersifat persisten, maka infeksi akan berkembang menjadi endometritis kronis atau subakut dan kondisi ini akan merusak fertilitas ternak (anonim 2008a). Sedangkan menurut Noakes et al. (2001), uterus pada kondisi normal mempunyai beberapa mekanisme pencegahan terhadap patogen oportunistik dari saluran reproduksi. Mekanisme pertama adalah barrier fisik yang berupa sphincter vulva dan cervix, sphincter vulva dapat melindungi saluran reproduksi dari kontaminasi feses yang dikeluarkan oleh saluran pencernaan. Mekanisme kedua adalah pertahanan secara lokal dan sistemik di uterus, kedua mekanisme pertahanan tersebut sangat dipengaruhi oleh hormon steroid reproduksi (estrogen dan progesteron). Hal ini berarti bahwa saluran reproduksi akan lebih resisten terhadap infeksi apabila kadar estrogen meningkat (dominan), sedangkan ketika kadar progesteron lebih dominan, maka saluran reproduksi lebih rentan terhadap infeksi.
Menurut Noakes et al. (2001), konsentrasi estrogen terjadi saat estrus dan partus, kondisi ini menyebabkan perubahan pada jumlah dan perbandingan sel-sel darah putih yang bersirkulasi (dengan neutrofilia relatif). Kondisi estrus menyebabkan suplai darah ke uterus mengalami peningkatan karena dipengaruhi oleh hormon estrogen yang meningkat, selain itu, pada saat partus juga terjadi peningkatan suplai darah ke uterus bunting. Peningkatan suplai darah tersebut diikuti oleh migrasi sel-sel darah putih dari sirkulasi darah ke lumen uterus, sehingga memungkinkan terjadi proses fagositosis yang aktif. Estrogen juga dapat menyebabkan peningkatan jumlah vaginal mucus yang berperan penting dalam mekanisme pertahanan uterus terhadap bakteri dengan cara menyediakan barrier fisik uterus dan mekanisme flushing dan pengenceran bakteri kontaminan. Sehingga pada kondisi tersebut, kontaminasi bakteri tidak mengganggu kesehatan uterus.
Infeksi uterus yang menyebabkan peradangan uterus dapat terjadi oleh adanya kerusakan barrier mekanis/barrier fisik yang melindungi uterus. Kelainan lain yang menyebabkan peradangan uterus adalah kerusakan vulva/gangguan kemampuan vulva untuk berfungsi normal. Selain itu, kelainan yang menyebabkan infeksi berat pada lumen uterus adalah kerusakan/kelainan pada cervix, khususnya kondisi yang bersamaan dengan kelainan/kerusakan pada vulva. Kelainan mekanisme pertahanan alami pada saat partus dapat disebabkan oleh berbagai faktor, diantaranya adalah distokia, retensio secundinae, penyakit-penyakit metabolis, dan fatty liver disease. Infeksi uterus pada kondisi ini disebabkan oleh dominasi progesteron sehingga uterus lebih rentan terhadap infeksi. Selain itu, pada kondisi fase luteal yang diperpanjang dapat menyebabkan kontaminan yang bersifat non-spesific menjadi bersifat patogen, serta pada kondisi corpus luteum persisten atau luteal cysts juga sering berkaitan dengan infeksi uterus. Uterus yang mengalami infeksi menyebabkan kerusakan epitel endometrium dan akan menyebabkan uterus tidak mampu mensekresikan hormon PGF2α, sehingga corpus luteum menjadi tertahan dan dapat memicu terjadinya infeksi uterus (Noakes et al. 2001).
Menurut Ball dan Peters (2004), endometritis sering disebabkan oleh kelanjutan distokia atau retensio secundinae dan sering berkaitan dengan penurunan laju involusi uterus pada periode pospartus. Kondisi endometritis sering diikuti oleh keadaan corpus luteum persisten sehingga kejadian infeksi dapat terjadi terus menerus karena kadar estrogen sangat rendah yang berfungsi dalam mekanisme pembersihan uterus.
Infeksi uterus oleh Arcanobacterium (Actinomyces) pyogenes atau infeksi bersama dengan Fusobacterium necrophorum atau bakteri gram negatif anaerob lainnya menghasilkan gejala klinis berupa eksudat purulenta dari uterus dan vagina yang terlihat seperti jonjot-jonjot putih. Eksudat tersebut dapat dibedakan dari eksudat estrus, yaitu eksudat estrus mempunyai penampakan berupa eksudat yang jernih. Gejala klinis lainnya adalah perubahan konsistensi uterus yang dapat terlihat dari palpasi rektal. Sensitivitas dan spesifitas diagnosis dapat ditegakkan dengan pemeriksaan menggunakan speculum dan pemeriksaan (pengukuran) cytology endometrium. Gejala klinis yang terlihat pada sapi adalah kesakitan, penurunan nafsu makan, dan penurunan produksi susu. Namun, sapi perah di lapangan yang mengalami kondisi endometritis tidak menunjukkan gejala kelemahan, tidak terjadi penurunan nafsu makan, serta tidak menunjukkan peningkatan temperatur tubuh (Anonim 2008a).
Menurut anonim (2008a), treatmen endometritis pada sapi dapat dilakukan dengan infusi antimicrobial secara intrauterine. Selain dapat membersihkan bakteri dalam uterus, infusi antimikrobial intrauterine juga dapat memperbaiki fertilitas sapi. Infusi cephapirin intrauterine dapat meningkatkan fertilitas pada sapi perah pada saat endometritis. Namun, infusi antibiotik yang diberikan dalam jumlah banyak dapat menyebabkan kerusakan jaringan uterus dan peningkatan residu di susu dan karkas. Apabila terjadi gejala kesakitan maka terapi yang diberikan dapat berupa pemberian antibiotik sistemik. Terapi lain yang dapat diberikan untuk mengatasi endometritis pada sapi adalah pemberian preparat PGF2α untuk menstimulasi kontraksi uterus dan pengeluaran eksudat.
Menurut Noakes et al. (2001), terapi yang dapat diberikan untuk mengatsi endometritis diantaranya adalah antibiotika spektrum luas dan sistemik, terapi cairan, dan pemberian NSAIDs. Antibiotik sistemik tersebut yang sering diberikan adalah oxytetracycline dengan dosis 22 mg/kg secara iv atau im. Selain itu juga dilakukan pemberian abtibiotik secara infusi yang berupa tetrasiklin dengan rute intrauterine untuk mengatasi endometritis ringan. Terapi lain yang diberikan adalah preparat PGF2α secara intrauterine yang bertujuan untuk melisiskan CL, dan pemberian preparat oxytocin dengan rute IM untuk mengeluarkan cairan dan debris peradangan di uterus. Pemberian oestradiol benzoate 3 – 5 mg secara IM bersamaan dengan pemberian antibiotika dapat meningkatkan aliran darah ke uterus sehingga meningkatkan penyerapan antibiotik. Namun, dosis tinggi tanpa pemberian antibiotik dapat meningkatkan aliran darah ke uterus dan meningkatkan penyerapan toksin dari bakteri, serta meningkatkan terjadinya folikulogenesis yang dapat menyebabkan cystic ovari.
Infusi intrauterine merupakan treatmen utama terhadap endometritis pada sapi. Mode of therapy dari infusi intrauterine mempunyai efek yang menguntungkan terhadap penampilan reproduksi sapi perah selanjutnya. Pemberian cephapirin, yang merupakan generasi pertama cephalosporin secara efektif dapat meningkatkan penampilan reproduksi pada sapi perah. Cephapirin mempunyai waktu yang singkat terhadap kebuntingan.

Satwa liar merupakan kekayaan alam yang perlu dijaga kelstariannya, melalui upaya konservasi yang dilaksanakan di dalam atau di luar habitat aslinya. Kelestarian satwa liar atau konservasi satwa liar dapat diusahakan dengan dua cara yaitu konservasi in-situ dan konservasi ek-situ, dan dalam hal ini penangkaran satwa liar termasuk ke dalam konservasi ek-situ dimana konservasi ek-situ mempunyai fungsi utama yaitu sebagai fungsi ekologis serta fungsi sosio-ekonomi dan sosio-budaya. Selain itu, penangkaran satwa langka atau satwa liar merupakan salah satu aspek dalam konservasi sumberdaya hayati dimana hal ini diatur dalam undang-undang No. 5 Tahun 1990 tentang konservasi sumberdaya hayati dan ekosistemnya. Undang-undang ini memberi batasan pada pengelolaan sumberdaya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaan sumberdaya alam hayati dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya. Konservasi satwa langka dengan usaha penangkaran harus dapat memenuhi tiga kegiatan yaitu perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis satwa dan ekosistemnya, serta pemenfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Manfaat dari penangkaran satwa liar (konservasi ek-situ) adalah memenuhi kebutuhan jangka panjang cadangan plasma nutfah, sebagai bahan analisis, bahan penelitian, bahan perkembangbiakan atau persilangan, bahan pemuliaan, sebagai back up satwa liar terhadap jenis satwa liar yang di alam, sumber bahan reintroduksi, pengganti populasi liar untuk riset biologi populasi dan sosio biologinya, untuk pendidikan masyarakat serta untuk obyek rekreasi.

Pelestarian satwa langka Indonesia yang merupakan bagian dari sumberdaya hayati telah menjadi komitmen nasional setelah pemerintah Indonesia meratifikasi Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) melalui Keputusan Presiden RI Nomor 43 Tahun 1978, yang selanjutnya membawa konsekuensi perdagangan tumbuhan dan satwa liar yang dilaksanakan pemerintah Indonesia harus mengikuti ketentuan-ketentuan CITES, selain itu pemerintah Indonesia juga telah meratifikasi Konvensi Keanekaragaman Hayati (Biodiversity Convention) melalui Undang-undang Nomor 5 Tahun 1994.

Pemanfaatan Satwa Liar

Pemanfaatan dan Penangkaran Satwa langka diatur oleh peraturan pemerintah No. 8 Tahun 1999 yang berupa pengkajian, penelitian dan pengembangan, penangkaran, perburuan, perdagangan, peragaan, pertukaran, budidaya tanaman obat-obatan, serta pemeliharaan untuk kesenangan. Pemanfaatan satwa liar diawali dari kegiatan penangkapan satwa liar dari alam (habitat alam) ataupun pengambilan satwa liar dari hasil penangkaran terhadap jenis-jenis yang termasuk dalam Appendiks CITES maupun Non-Appendiks CITES baik yang dilindungi maupun tidak dilindungi. Setiap orang atau badan usaha yang akan melakukan pemanfaatan satwa liar secara komersial di dalam negri maka harus mendapat izin pemanfaatan komersial dalam negri berupa izin mengedarkan spesimen satwa liar yang tidak dilindungi undang-undang atau satwa yang dilindungi sebagai hasil penangkaran atau satwa yang telah ditetapkan sebagai satwa buru di dalam negri. Sedangkan badan usaha atau orang yang akan melakukan kegiatan pemanfaatan satwa liar secara komersial ke luar negri maka harus mendapat izin pemanfaatan komersial ke luar negri berupa izin mengedarkan spesimen satwa liar yang tidak dilindungi undang-undang atau satwa yang dilindungi sebagai hasil penangkaran ke luar negri.

Perdagangan jenis satwa liar harus diawali dengan penetapan kuota pengambilan atau penangkapan satwa liar dari alam yang merupakan batas maksimal jenis dan jumlah spesimen satwa liar yang dapat diambil dari habitat alam. Penetapan kuota pengambilan atau penangkapan satwa liar didasarkan pada prinsip kehati-hatian dan dasar-dasar ilmiah untuk mencegah terjadinya kerusakan atau degradasi populasi. Penetapan kuota pengambilan atau penangkapan satwa liar dilakukan oleh Direktur Jendral PHKA berdasarkan rekomendasi LIPI. Penyusunan kuota didasari bahwa ketersediaan data potensi satwa liar yang menggambarkan populasi dan penyebaran setiap jenis masih sangat terbatas, sehingga membutuhkan peran LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) dan perguruan tinggi untuk membantu memberikan informasi mengenai potensi dan penyebaran jenis satwa liar yang dapat dimanfaatkan.

Perijinan dalam penangkapan satwa lair diterbitkan oleh BKSDA (Balai Konservasi Sumber Daya Alam) berdasarkan kuota wilayah yang ada. Perijinan badan usaha atau perorangan yang akan melakukan peredaran satwa liar di dalam negri diterbitkan oleh kepala BKSDA dimana badan usaha atau perorangan yang memegang izin sebagai pengedar satwa liar di dalam negri yang akan mengambil atau menangkap satwa berkewajiban untuk mempunyai tempat dan fasilitas penampungan satwa liar yang memenuhi syarat yang telah ditetapkan oleh Dirjen PHKA. Sedangkan peredaran satwa liar ke luar negri harus sesuai izin BKSDA dan sesuai dengan syarat-syarat yang ditetapkan CITES.

Kegiatan penangkaran dan perdagangan satwa langka diperlukan suatu upaya pengendalian dan pengawasan dari tingkat kegiatan pengambilan atau penangkapan spesimen satwa liar, pengawasan peredaran dalam negri serta pengawasan peredaran ke luar negri dan dari luar negri. Pengawasan dan pengendalian ini dilakukan oleh BKSDA (Balai Konservasi Sumber Daya Alam). Pengendalian dan pengawasan perdagangan satwa juga dilakukan terhadap penangkapan satwa liar dari alam, hal ini bertujuan supaya satwa liar dapat dimanfaatan sesuai dengan izin yang diberikan (tidak melebihi kuota tangkap), supaya penangkapan spesimen satwa liar tidak merusak habitat atau populasi di alam, serta untuk spesimen yang dimanfaatkan dalam keadaan hidup supaya tidak menimbulkan kematian dalam jumlah yang banyak yang disebabkan oleh cara pengambilan atau penangkapan yang tidak benar.

Pengendalian perdagangan satwa liar di dalam negri harus dilakukan dengan upaya pengendalian dalam penerbitan SATS-DN (Surat Angkut Tumbuhan dan Satwa Dalam Negri), pemeriksaan stok satwa yang ada pada pengedar ataupun penangkar satwa, serta pemeriksaan stok yang akan dimohonkan SATS-LN atau yang akan diekspor. Dalam pelaksanaan pengendalian dan pengawasan peredaran satwa liar di dalam negri maka BKSDA telah bekerjasama dengan Balai/Kantor Karantina Hewan yang ada di daerah. Sedangkan untuk peredaran ke luar negri maka BKSDA melakukan kerja sama dengan Balai/Kantor Karantina dan Kantor Pelayanan Bea dan Cukai, kepolisisn, serta Departemen Perdagangan (Deperindag).

Penangkaran satwa liar atau pemeliharaan satwa liar di luar habitat aslinya (ek-situ) harus dilakukan oleh lembaga konservasi yang dapat berbentuk kebun binatang, museum zoologi dan taman satwa khusus. Kewajiban lembaga konservasi dalam pemeliharaan satwa liar di luar habitat aslinya diantaranya adalah memenuhi standar kesehatan satwa, menyediakan tempat yang cukup, luas, aman dan nyaman, serta mempunyai dan mempekerjakan tenaga ahli dalam bidang medis dan pemeliharaan. Sedangkan kewajiban yang harus dipenuhi lembaga konservasi dalam pengembangbiakan satwa liar di luar habitat aslinya (ek-situ) adalah menjaga kemurnian jenis, menjaga keanekaragaman genetik, melakukan penandaan dan sertifikasi, serta membuat buku daftar silsilah (studbook). Perizinan lembaga konservasi satwa liar diberikan untuk jangka waktu 30 tahun dan setelah divaluasi dapat diperpanjang. Lembaga konservasi satwa liar mempunyai hak dan kewajiban yang harus dipenuhi. Hak lembaga konservasi eksitu adalah menerima jenis satwa baik yang dilindungi maupun yang tidak dilindungi sesuai dengan izin, memperagakan satwa yang dipelihara dalam area pengelolaannya kepada umum, mengadakan kerjasama antar lembaga konservasi baik di dalam negri maupun di luar negri (dalam bentuk pengembangan ilmu pengetahuan, pertukaran jenis satwa, dan bantuan-bantuan teknis), melakukan penelitian jenis satwa liar, menerima imbalan atas jasa yang dilakukan sesuai ketentuan yang berlaku, serta memanfaatkan hasil penangkaran satwa sesuai ketentuan yang berlaku. Sedangkan kewajiban yang harus dipenuhi antara lain adalah membuat rencana karya pengelolaan, menyediakan sarana dan prasarana pengelolaan, memelihara dan menangkarkan jenis satwa sesuai dengan ketentuan yang berlaku, mempekerjakan tenaga ahli sesuai bidangnya, tidak memperjualbelikan satwa liar yang dilindungi, serta membuat laporan pengelolaan secara berkala termasuk mutasi jenis satwa.

Peraturan-peraturan yang dikeluarkan pemerintah dalam penangkapan, penangkaran dan perdagangan satwa liar atau satwa langka dimaksudkan untuk menjaga kelestarian satwa liar beserta habitatnya karena satwa adalah sebagai penjaga ekosistem serta untuk mencegah terjadinya perburuan ataupun perdagangan ilegal satwa liar atau satwa langka.

Penangkaran Satwa Liar

Penangkaran satwa liar di Indonesia yang merupakan suatu bentuk konservasi ek-situ untuk melindungi kelestarian jenis masih mempunyai banyak permasalahan yang harus segera diatasi supaya kelestarian dan keseimbangan ekosistem dapat terwujud. Permaslahan secara umum dalam pengelolaan konservasi ek-situ satwa liar adalah ukuran populasi yang terbatas, hal ini disebabkan oleh luas area pengelolaan/pemeliharaan/penangkaran satwa liar sangat terbatas dan tidak terlalu besar sehingga populasi yang ditampung juga terbatas. Permasalahan umum lainnya adalah terjadinya penurunan kemampuan adaptasi, daya survive dan keterampilan belajar satwa, kondisi ini disebabkan oleh keadaan satwa liar di lembaga konservasi sangat bergantung kepada manusia sehingga sifat alamiahnya semakin lama semakin menurun. Permasalahan lainnya adalah variabilitas genetik satwa liar yang terbatas karena di dalam lembaga konservasi ek-situ, satwa liar hanya mendapat pasangan reproduksi yang sama dalam reproduksinya sehingga akan melemahkan sumberdaya genetik satwa liar. Selain itu, dana yang besar juga merupakan kendala yang dihadapi dalam konservasi ek-situ satwa liar, hal ini disebabkan oleh bentuk lembaga konservasi merupakan suatu bentuk usaha yang padat modal.

Dasar Kebijakan dan Penangkaran Burung

kegiatan penangkaran satwa burung didasarkan pada peraturan pemerintah No. 7 tahun 1999 tentang pengawetan jenis tumbuhan dan satwa, serta PP No. 8 tahun 1999 tentang pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar. kegiatan penangkaran burung dan satwa liar lainnya dapat dilakukan di setiap daerah dengan memperhatikan kondisi populasi, habitat dan tingkat ancaman kepunahannya. kegiatan penangkaran burung dan satwa liar lainnya sekaligus koleksinya juga merupakan salah satu usaha untuk meningkatkan kapasitas daerah dalam pembangunan konservasi sumberdaya alam yang dalam hal ini merupakan implikasi dari berlakunya UU No. 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah. UU No. 32 Tahun 2004 mengatur bahwa perijinan dan pemanfaatan sumber daya alam dilakukan bersama-sama antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

berdasarkan PP No. 7 Tahun 1999, kegiatan koleksi dan penangkaran burung di daerah merupakan bagian dari pengelolaan satwa burung di luar habitatnya (ek-situ) dengan maksud untuk menyelamatkan sumber daya genetik dan populasi jenis satwa burung. Kegiatan tersebut meliputi pemeliharaan, perkembangbiakan, serta penelitian dan pengembangannya. Kegiatan pemeliharaan burung di luar habitat alaminya mempunyai kewajiban yaitu memenuhi standar kesehatan satwa burung, menyediakan tempat yang cukup luas, tempat yang aman dan nyaman, serta mempunyai dan mempekerjakan tenaga ahli dalam bidang medis dan pemeliharaan. kegiatan pengembangbiakan jenis satwa burung dilaksanakan untuk pengembangan populasi di alam supaya tidak punah.

pemeliharaan satwa burung di luar habitat alaminya (ek-situ) tidak hanya menitikberatkan pada obyek burung saja tetapi juga harus mempertimbangkan kesiapan lingkungan, yang meliputi lingkungan biologi (habitat burung) dan lingkungan fisik (kandang). Dalam lingkungan biologi harus diperhatikan mengenai tumbuhan yang sesuai dengan habitat burung serta kerapatan dan arsitektur tajuk. sedangkan kandang yang merupakan bentuk lingkungan fisik harus disesuaikan dengan jenis burung yang akan dipelihara (termasuk karakteristik biologisnya), jumlah burung, ketersediaan lahan dan dana, serta kandang harus ditempatkan sesuai dengan peruntukkannya. Tujuan dari kesiapan lingkungan adalah supaya satwa burung yang akan dipelihara dapat melakukan adaptasi dengan baik dan cepat terutama untuk jenis-jenis satwa burung yang membutuhkan lindungan.

Persiapan pemeliharaan satwa burung di luar habitatnya (ek-situ) tidak begitu saja bebas dari permasalahan, beberapa permasalahan dalam penyediaan lingkungan biologi dan lingkungan fisik masih sering dijumpai dalam pemeliharaan maupun penangkaran satwa burung dan satwa liar lainnya, misalnya adalah beberapa penangkar masih belum memperhatikan dalam hal pemilihan lokasi kandang dimana kandang belum ditempatkan pada lokasi yang jauh dari keramaian dimana burung dalam perkembangbiakannya membutuhkan kondisi yang nyaman dan sesuai dengan habitatnya, jika kandang ditempatkan di lokasi yang dekat dengan keramaian maka dapat mengancam keberhasilan pengembangbiakan satwa burung yang secara langsung maupun tidak langsung akan berpengaruh kepada kelestarian satwa burung di alam. permasalahan lain dalam pemeliharaan dan penangkaran satwa burung adalah bentuk dan ukuran kandang yang tidak sesuai peruntukkannya, misalnya ukuran kandang yang tidak disesuaikan dengan ukuran tubuh satwa burung dan populasi burung serta belum terdapat pembagian kandang yaitu belum tedapat pemisahan antara kandang koloni, kandang perkembangbiakan, kandang penyapihan dan kandang karantina.

Pemeliharaan dan penangkaran burung tidak bisa terlepas dari adanya SOP atau prosedur operasional standar untuk mendukung keberhasilan pemeliharaan dan penagkaran satwa burung. penerapan SOP dalam kegiatan pemeliharaan burung dimaksudkan supaya satwa burung yang dipelihara dapat hidup dan berkembangbiak dengan baik. selain itu, manfaat lainnya adalah melindungi kesehatan masyarakat dan lingkungan dari penyakit yang bersifat zoonosis. SOP yang dibuat harus meliputi tatacara pengadaan, adaptasi dan penempatan burung, pengelolaan pakan dan obat-obatan, pengelolaan kebersihan atau sanitasi kandang dan lingkunag, pengelolaan kesehatan dan pengendalian penyakit, karantina, pengelolaan reproduksi, pembesaran anak, serta pengelolaan sistem pencatatan kejadian dan perkembangan burung (recording).

Walaupun manfaat ekologis dari penangkaran satwa burung relatif kecil tetapi penangkaran terbukti mampu memberikan manfaat ekonomi, sosial, budaya dan lingkungan yang cukup besar. Secara sosio-ekonomi, manfaat yang dirasakan dalam penangkaran burung adalah munculnya berbagai pekerjaan masyarakat yang terkait dengan pembuatan sangkar, penyediaan pakan hidup dan perawatan. Manfaat penangkaran satwa burung secara sosio-budaya berdampak pada kelestarian budaya suku tertentu yaitu misalnya budaya suku jawa yang memanfaatkan satwa burung sebagai hewan peliharaan.

 

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Mata pada kucing mempunyai karakteristik khusus yang berbeda dengan hewan lainnya. Anjing mempunyai kombinasi antara penglihatan, pendengaran, dan penciuman untuk menyesuaikan diri terhadap lingkungannya, sedangkan kucing lebih banyak mengandalkan penglihatan untuk menyesuaikan diri terhadap lingkungannya. Kucing mempunyai mata yang berukuran besar, hal ini dapat dilihat pada kornea mata kucing yang merupakan bagian mata terdepan mempunyai ukuran yang cukup besar. Bola mata terletak pada bantalan lemak yang melindungi bola mata dalam tulang orbita mata. Mata kucing mempunyai pergerakan yang terbatas, hal ini disebabkan oleh letak bola mata yang dalam dalam orbita mata (Eldredge et al. 2008).

Kucing tidak dapat melihat objek yang dekat dengan matanya, tetapi dapat melihat objek yang terletak jauh, yaitu sekitat 20/100. Kondisi ini disebabkan oleh adanya kelemahan otot yang berfungsi untuk merubah bentuk lensa mata, sehingga kucing mempunyai daya akomodasi yang buruk. Pupil kucing mempunyai kemiripan dengan pupil pada reptil nokturnal yang mempunyai bentuk elips. Bentuk elips pada pupil ini dapat memantu mata untuk membuka dan menutup dengan cepat, serta dapat membuka penuh (Eldredge et al. 2008).

Retina pada kucing merupakan membran yang sensitif terhadap cahaya dan terletak di bagian belakang bola mata. Retina mengandung dua tipe sel fotoreseptor yaitu sel batang (rods) dan sel kerucut (cones). Sel batang bereaksi terhadap intensitas cahaya, sehingga kucing dapat membedakan warna hitam, putih, dan bayangan abu-abu. Sedangkan Sel kerucut menyediakan warna. Namun, mata kucing mengandung lebih banyak sel batang (rods) daripada sel kerucut, maka kucing mampu melihat dalam kondisi cahaya yang redup (hitam, putih, dan abu-abu)  dan kucing mempunyai keterbatasan dalam melihat warna (Eldredge et al. 2008).

Kekhususan pada mata kucing lainnya adalah kucing mempunyai mata yang dapat bercahaya di tempat yang gelap, hal ini disebabkan oleh tapetum lucidum (sel-sel lapisan khusus yang terletak di belakang retina. Sel-sel tapetum lucidum dapat merefleksikan cahaya kembali ke retina. Kondisi ini merupakan proses refleksi dan dengan jumlah sel batang yang banyak pada retina maka kucing dapat melihat objek pada kondisi gelap. Namun, kucing tidak dapat melihat pada kondisi gelap total, kucing hanya dapat melihat pada kondisi cahaya suram atau area yang hampir gelap (Eldredge et al. 2008).

Kucing mempunyai tambahan struktur pada kelopak mata, yaitu membran nictitan. Membran nictitan pada kucing dan hewan karnivora liar secara normal tidak terlihat karena membran nictitan tersembunyi pada bagian sudut mata. Struktur lain dari kelopak mata kucing adalah Third eyelid. Struktur ini berfungsi untuk membersihkan dan lubrikasi permukaan mata sehingga kucing jarang sekali untuk berkedip. Third eyelid juga membantu melindungi permukaan mata dari luka. Third eyelid akan terlihat pada kucing yang mempunyai gangguan mata atau gangguan saraf, dan kucing yang sakit. Selain itu, melalui penutupan kelopak mata atas dan kelopak mata bawah, serta penonjolan membran nictitan dapat membantu melindungi mata dari pengaruh benda asing seperti rumput-rumputan (Eldredge et al. 2008).

Kelopak mata kucing merupakan suatu bagian yang dapat melipat rapat dan membantu bola mata bagian depan. Kelopak mata tidak berhubungan langsung dengan permukaan bola mata karena terdapat suatu lapisan tipis air mata diantara kelopak mata dan permukaan mata. Tepi dari kelopak mata atas dan kelopak mata bawah akan bertemu ketika kelopak mata tertutup. Apabila kelopak mata tidak menutup maka dapat menyebabkan kekeringan pada kornea dan akan menyebabkan iritasi pada mata. Selain itu, kucing tidak mempunyai bulu mata, tetapi apabila kucing mempunyai bulu mata dengan arah yang salah maka dapat menyebabkan iritasi pada permukaan mata. Air mata dihasilkan oleh kelenjar-kelenjar air mata yang ada di kelopak mata, membran nictitan, dan konjunctiva. Fungsi dari kelenjar air mata adalah untuk membersihkan, memelihara dan lubrikasi permukaan mata, serta mengandung zat-zat kimia yang dapat membantu untuk mencegah bakteri yang menimbulkan infeksi mata. akumulasi air mata secara normal akan dibuang melalui evaporasi, apabila terjadi kelebihan produksi air mata maka air mata akan disalurkan melalui sistem drainase menuju hidung. Mata yang berair berlebihan mengindikasikan terjadinya penyakit pada mata, iritasi oleh benda asing di mata, atau terjadinya penyumbatan pada sistem drainase (Eldredge et al. 2008).

Mata kucing mempunyai warna yang beragam, yang dihasilkan dari pigmen di iris dan secara genetik terkait dengan warna rambut. Warna iris secara umum adalah kuning kehijauan. Selain itu, kucing juga mempunyai warna biru, hijau, emas, atau tembaga pada iris. Abnormalitas yang sering ditemukan pada kelopak mata adalah entropion (melekuknya tepi palpebrae ke arah bola mata), ektropion (melekuknya tepi palpebrae bawah ke arah luar), trichiasis (penyimpangan abnormal dari silia sehingga akan bergesekan dengan kornea atau konjunctiva), distichiasis, dan tidak adanya kelopak mata (coloboma). Entropion kemungkinan dapat disebabkan secara kongenital atau dapatan selama hidup. Entropion secara kongenital dicirikan oleh terjadinya entropion secara bilateral tetapi tingkat keparahannya berbeda pada kedua matanya (Eldredge et al. 2008).

Abnormalitas pada bola mata dapat dihasilkan oleh pengaruh lokal ataupun pengaruh sistemik. Perubahan/kelainan bola mata diawali oleh kelainan secara unilateral, kemudian dapat berubah menjadi bilateral. Microphthalmia merupakan suatu kelainan pada mata yang berkaitan dengan kelainan beberapa struktur mata. Microphthalmia biasanya disebabkan oleh faktor genetik atau nutrisi. Selain itu, kelainan lain yang sering ditemukan adalah keratitis yang derjatnya bervariasi dari kekaburan penglihatan ringan pada kasus ringan ataupun kasus akut, sampai perubahan warna putih pada fase lanjut dengan derajat vaskularisasi yang bervariasi sebagai hasil dari perkembangan pembuluh darah dari conjunctiva bulbar, kondisi ini sering berkaitan dengan konjunctivitis (Eldredge et al. 2008).

Enukleasi merupakan operasi untuk pengambilan atau pengangkatan dan pembuangan bola mata. Enukleasi lebih sering digunakan untuk membuang mata yang buta dan sakit yang tidak dapat disembuhkan melalui pengobatan. Enukleasi pada kondisi yang tepat biasanya digunakan sebagai alternatif untuk menhilangkan rasa sakit pada mata dan untuk menghilangkan metastasis neoplasia.

Indikasi dari enukleasi adalah terjadinya peningkatan tekanan intraokular yang dihasilkan oleh glaukoma (kucing merasa kesakitan dan buta) yang tidak dapat disembuhkan dengan pengobatan, neoplasia intraocular yang berpotensi menyebabkan kesakitan intraokular atau metastasis, trauma yang parah yang dihasilkan oleh luka perforasi pada mata atau kerusakan paa lensa (sering disebabkan oleh cakaran kucing, gigitan anjing, atau kecelakaan), infeksi intraokuler/endophthalmitis, phthisis bulbi, proptosis (kesakitan pada otot ekstraokuler), dan retrobulbar disease.

Tujuan

Operasi enukleasi bertujuan untuk melatih ketrampilan mahasiswa dalam mendiagnosa kelainan pada mata dan melatih ketrampilan mahasiswa dalam melakukan tindakan operasi enukleasi, serta penanganan post operasi.

ALAT DAN BAHAN

Alat-alat yang digunakan dalam operasi enukleasi antara lain adalah seperangkat alat bedah minor yang terdiri dari  4 buah towel clamp, 1 buah gagang scalpel dan mata pisaunya, 2 buah pinset anatomis dan sirurgis, 3 buah gunting ( runcing – runcing, runcing – tumpul, dan tumpul – tumpul), 4 buah arteri clamp anatomis lurus, 2 buah tang arteri anatomis bengkok, 2 buah tang arteri lurus sirurgis dan needle holder, meja operasi, spoit, lampu operasi, timbangan, termometer, stetoskop, Pisau cukur, kain penutup atau duk, jarum jahit dengan ujung segitiga, perlengkapan operator yang terdiri dari baju operasi, masker, tutup kepala, sarung tangan, sikat, dan handuk kecil; tali restrain hewan, tampon serta kasa.

Bahan-bahan yang digunakan antara lain adalah kucing yang mempunyai kelainan pada mata dengan bobot badan 1,4 kg, benang jahit cat gut ukuran 2-0, kain kassa, perban, iodium tincture 3% (topikal), alkohol 70%, vitamin K, anastetikum terdiri dari ketamine HCl 10 %, dosis 10 mg/kgBB, Xylazine HCl 2 %, dosis 2 mg/kgBB (untuk dosis maintenance diunakan setengah dosis), premedikasi anastetikum yaitu Atrofin sulfat dosis 0,025 mg/kgBB; Antibiotik post operasi (selama perawatan) yaitu Amoxicillin dosis 20 mg/kgBB dengan konsentrasi 125 mg/5 ml (IM), diberikan selama 5 hari, Antibiotik post operasi (sesaat setelah operasi) yaitu Oxytetracyclin dosis 14 mg/kgBB (IM) konsentrasi 200 mg/ml; dan cairan infus (NaCl fisiologis 10-20 ml/kgBB, subkutan) jika diperlukan.

TEKNIK OPERASI

Teknik operasi enukleasi diawali dengan tindakan anesthesi kepada hewan (kucing) dimana obat yang dipakai adalah ketamine HCl 10 %, Xylazine 2 % dan atropin sulfat sebagai premedikasi. Pemberian anesthesi dan prmedikasi ini disesuaikan dengan bobot badan hewan (kucing). Setelah hewan diberi anasthesi, bulu di sekitar mata kiri dicukur. Kemudian daerah yang telah dicukur dibersihkan dengan air dan diberi sabun lalu dibilas hingga bersih, diusap dengan kapas beralkohol 70% dan didesinfeksi dengan Iodium Tincture 3% dengan arah dari dalam keluar. Setelah itu hewan diletakan di meja operasi dengan posisi ventrodorsal/posisi dorsal recumbency, fiksasi hewan dengan cara mengikat keempat kakinya menggunakan tali. Setelah hewan memasuki stadium operasi maka operasi enukleasi dapat dilakukan.

Operasi enukleasi diawali dengan penjahitan sederhana antara kelopak mata atas dan kelopak mata bawah sehingga kelopak mata dapat tertutup. Setelah itu dilakukan penyayatan pada kulit sepanjang margin/batas kelopak mata dengan arah 360O mengelilingi kelopak mata. Penyayatan dapat dilakukan dengan menggunakan sayatan tajam, setelah itu dilanjutkan dengan penyayatan pada otot-otot ekstraokuler. Kemudian dilakukan pemotongan pada otot-otot ekstraokuler yang melekat pada sclera. Nervus opticus dan pembuluh darah ke mata dijepit dengan clamp dan diikat dengan benang jahit absorbable berukuran 3-0 atau 4-0, kemudian nervus opticus dan pembuluh darah tersebut dapat dipotong. Langkah terakhir adalah penutupan otot-otot ekstraokuler, periorbita, jaringan subkutan, dan kulit dengan jahitan sederhana serta dilakukan penutupan ruang orbita dan jaringan subkutan dengan menggunakan jahitan continuous dengan benang jahit absorbable berukuran 4-0, dan penjahitan kulit dengan menggunakan benang jahit noabsorbable berukuran 5-0 atau 6-0 dengan menggunakan jahitan continuous.

HASIL

1. Anamnesis                                        : Kucing pada mata kirinya terlihat tidak bisa membuka (terlihat menutup) dan kotor.

2.    Pemeriksaan hewan :

  • Signalemen

–          nama hewan                       :  –

–          jenis/ ras                             : Kucing / domestik

–          jenis kelamin                       : betina

–          umur                                   : ± 6 bulan

–          bobot badan                        : 1,4 kg

–          warna rambut                     : putih coklat

  • Status present

–          frekuensi napas                  : 44 kali/menit

–          frekuensi nadi                     : 140 kali/menit

–          suhu badan                         : 38,4 °C

  • Keadaan umum

–          Gizi                                     : sedang

–          Habitus                               : Jinak

–          Perawatan                          : sedang

– Kulit dan keadaan rambut      : Normal

– Selaput lendir                         : Rose/normal

– Kelenjar pertahanan             : Tidak ada pembengkakan

  • Palpasi pada mata kiri

–          Mata dan orbita kiri

– Palpebrae                         : menutup, tidak dapat membuka

– Cilia                                  : melengkung ke dalam (ke arah kornea)

– Konjunctiva                       : merah

– Membrana nictitans          : menyembul ke luar dan berwarna merah

– Bola mata kiri

– Sclera                               : putih

– Cornea                              : keruh keputih-putihan

– Iris                                     : kuning

– Limbus                              : rata

– Pupil                                  : mengecil

– Refleks pupil                     : tidak ada

– Vasa injectio                     : ada

3. Diagnosa                                         : entropion, konjunctivitis, dan keratitis

4. Differential diagnosa                       : cherry eye

5. Prognosa                                        : infausta

6. Terapi                                              : enukleasi

7.    Perhitungan Anasthetikum :

BB kucing = 1,4 kg

  • Premedikasi (Atrofin sulfat) :

Dosis 0,025 mg/kgBB, Konsentrasi 0,25 mg/ml

Pemberian  =  0,025 mg/kg  x  1,4 kg/0,25 mg/ml

=  0,14 ml

  • Ketamine HCl 10 % :

Dosis 10 mg/kgBB, Konsentrasi 100 mg/ml

Pemberian  =  10 mg/kg  x  1,4 kg/100 mg/ml

=  0,14 ml

  • Xylazine 2 % :

Dosis 2 mg/kgBB, Konsentrasi 20 mg/ml

Pemberian  =  2 mg/kg  x  1,4 kg/20 mg/ml

=  0,14 ml

8. Perhitungan antibiotik :

  • Oxytetracycline secara intramuskuler (sesaat post operasi)

Dosis 14 mg/kgBB, Konsentrasi 50 mg/ml.

= . (14 mg/kgBB x 1,4 Kg)/50 mg/ml =  0,39 ml.

  • Amoxicillin peroral (post operasi selama 5 hari)

Dosis 15 mg/kg BB, Konsentrasi 125 mg/5ml (25 mg/ml)

= (15 mg.kgBB x 1,4 kg)/25mg/ml = 0,84 ml per hari (satu kali pemberian).

9. Pengamatan Operasi

Tabel 1. Pemberian obat preanestesi dan anesthesi

Status Menit ke-
0 15′ 30′ 45′ 60′ 75′
Preanesthesi :

Atropin sulfas

0,14 ml
Anesthesi :
Ketamin 0,18 ml 0,09 ml 0,09 ml 0,09 ml 0,09 ml
Xylazin 0,18 ml

 

 

 

 

Tabel 2. Pengamatan kondisi fisiologis saat operasi

Status Menit ke-
0 15′ 30′ 45′ 60′ 75′
Temperatur 38,4 °C 36,5 °C 36,0 °C 35,0 °C 35,2 °C 35,2 °C
Frekuensi jantung 140 112 132 124 140 132
Frekuensi nadi 140 112 132 124 140 132
Frekuensi nafas 44 24 20 24 20 20
Refleks palpebrae ada ada ada ada ada ada
Capilary rate test (CRT) 1 detik 1 detik 1 detik 1 detik 1 detik 2 detik

 

 

 

 

 

 

Tabel 3. Pengamatan Kondisi Fisiologis post operasi

Status Hari ke-
1 2 3 4 5 6 7
Frekuensi jantung 148 152 120 128 128 136 132
Frekuensi nadi 148 152 120 128 128 136 132
Frekuensi nafas 40 40 32 32 28 32 32
Temperatur 39,4 39,0 38,0 38,4 38,3 38,6 38,4
Releks palpebrae ada ada ada ada ada ada ada
Terapi post operatif Amoxicillin dan multivitamin (univit) Amoxicillin dan multivitamin (univit) Amoxicillin dan multivitamin (univit) Amoxicillin dan multivitamin (univit) Amoxicillin dan multivitamin (univit) Amoxicillin dan multivitamin (univit) Amoxicillin dan multivitamin (univit)

 

 

 

 

 

 

 

PEMBAHASAN

Operasi enukleasi pada kucing umumnya dilakukan untuk pengambilan bola mata yang sudah tidak dapat berfungsi secara normal. Kucing yang digunakan untuk operasi enukleasi mempunyai kelainan pada mata kiri berupa entropion, konjunctivitis, keratitis dan dengan diagnosa banding cherry eye (third eyelid protrusion). Sedangkan pada mata kanan kucing juga terdapat kelainan berupa keratitis tetapi tidak terjadi entropion. Kelainan pada mata kiri tersebut sudah bersifat kronis dan sekitar orbita mata terlihat kotor sehingga untuk alasan estetika dilakukan operasi enukleasi pada kiri.

Penyakit pada mata biasanya menyebabkan perubahan di sekitar kulit, misalnya dermatitis periorbital, yang disebabkan oleh adanya discharge pada kondisi konjunctivitis, keratokonjunctivitis, atau rhinitis.

Beberapa gejala yang menyertai kelainan pada mata adalah discharge pada mata, kesakitan pada mata, lapisan di atas mata, mata berkabut, mata keras atau lunak, iritasi pada kelopak mata, mata menonjol atau terbenam, pergerakan mata abnormal, dan perubahan warna pada mata (Eldredge et al. 2008).

Tipe discharge pada mata dapat digunakan untuk membantu menentukan penyebabnya. Discharge jernih tanpa adanya kemerahan dan kesakitan mengindkasikan terjadinya masalah pada sistem drainase air mata, sedangkan discharge jernih dengan kemerahan pada mata mengindikasikan terjadinya konjunctivitis, serta termasuk infeksi virus. Discharge seperti nanah, mukus, tebal, dan lengket dengan disertai peradangan pada mata mengindikasikan terjadinya konjunctivitis, termasuk infeksi Chlamydophila.

Kesakitan pada mata biasanya berkaitan dengan sekresi air mata yang berlebihan dan penglihatan yang terganggu. Kondisi ini menyebabkan kucing cenderung menggaruk pada bagian mata yang sakit. Kondisi lain adalah dicirikan oleh adanya penonjolan membran nictitan yang merupakan respon terhadap kesakitan. Penyebab umum dari kesakitan pada mata adalah perlukaan di kornea dan penyakit-penyakit di bagian mata yang lebih dalam, termasuk masalah gangguan penglihatan seperti glaucoma dan uveitis. Lapisan di atas permukaan mata biasanya berbentuk opaque atau lapisan putih.

Mata berkabut merupakan suatu penyakit yang dapat mengubah kejernihan mata serta dapat menyebabkan kucing mengalami kebutaan. Kabut pada mata mempunyai ukuran dan bentuk yang beragam dari ukuran kecil, kabut terlokalisir sampai opasitas seluruh permukaan mata. Kehilangan kejernihan atau transparansi pada mata mengindikasikan terjadinya penyakit mata bagian dalam. Kehilangan kejernihan dan transparansi pada umumnya disertai dengan kesakitan, keratitis, glaucoma, atau uveitis. Edema kornea dapat menyebabkan penampakan biru keabu-abuan pada mata.

Penonjolan pada mata biasanya disebabkan oleh glaucoma, tumor, dan abses di belakang bola mata. Sedangkan terbenamnya bola mata disebabkan oleh dehidrasi, kehilangan bobot badan, kesakitan pada mata, dan tetanus. Perubahan warna pada mata dapat mengindikasikan terjadinya kanker seperti melanoma. Warna kekuningan pada sclera mengindikasikan terjadinya jaundice atau ikterus.

Menurut Narfström (1999), entropion merupakan pelekukan kelopak mata ke arah dalam yang dapat menyebabkan rambut dari sekitar kelopak mata akan menggesek kornea. Kerusakan yang disebabkan oleh entropion dapat berupa kerusakan primer atau kerusakan sekunder. Kerusakan primer pada umumnya terjadi pada umur muda serta melibatkan sebagian atau seluruh bagian kelopak mata bawah dan sering terjadi secara bilateral. Sedangkan kerusakan sekunder sebagian besar merupakan tipe spastik atau tipe cicatrichal, dan sebagian besar ras kucing dapat mengalami entropion tipe sekunder.

konjunctivitis merupakan peradangan pada konjunctiva. Secara umum, konjunctiva yang mengalami peradangan akan memperlihatkan gejala seperti edema, pembendungan vaskuler, dan terjadinya eksudat encer sampai purulen. Selan itu, konjunctivitis dapat bersifat akut dan kronis serta dapat terjadi pada sebelah mata atau kedua-duanya. Konjunctivitis dapat disebabkan oeh infeksi virus, bakteri, rickettsia, jamur, iritasi kokal atau berkaitan dengan reaksi alergi atau disebabkan oleh penyakit immune mediated. Penyakit sistemik lainnya yang merupakan penyebab konjunctivitis adalah leptospirosis, ehrlichiosis, mikosis sistemik (misalnya blastomikosis dan koksidioidomikosis), prototekosis, dan penyakit parasitik seperti (Dirofilaria immitis). Eksudat mukopurulen yang terlihat pada kucing yang mengalami konjunctivitis umumnya disebabkan oleh infeksi sekunder oleh bakteri yang kemudian akan membentuk koloni-koloni.

Menurut Andrew (2001), kelainan pada mata kucing seperti keratitis dan konjunctivitis pada kucing sering disebabkan oleh infeksi herpesvirus (Feline Herpesvirus Virus-1). Kucing yang terserang oleh FHV-1 akan menunjukkan gejala pada kornea dan konjunctiva, atau kombinasi antara kornea dan konjunctiva. Selain itu, kucing juga dapat menunjukkan gejala sistemik dan gejala pada saluran respirasi atas. FHV-1 dapat menginduksi terjadinya ulkus kornea yang pada umumnya terjadi pada kucing-kucing dewasa dan kemungkinan besar terjadi oleh adanya reaktivasi virus laten. Reaktivasi virus laten ini berkaitan dengan imunosupresi secara sistemik (infeksi feline leukimia virus atau feline immunodeficiency virus), stress terhadap lingkungan atau pemberian preparat kortikosteroid sistemik. Gejala klinis pada mata dari infeksi FHV-1 tergantung pada kedalaman infeksi pada kornea dan sifat kronis dari infeksi. Secara akut dapat terjadi konjunctivitis ringan, blepharospasmus, dan discharge pada mata, serta keratitis dapat terjadi secara unilateral atau bilateral. Secara kronis ditandai dengan adanya edema stroma dan peningkatan vaskularisasi, serta dapat menyebabkan ulkus stroma. Kemungkinan besar FHV-1 dapat menyebabkan corneal stromal melting.

Penyakit kelopak mata ke-3 (Third eyelod protrusion) dapat terjadi unilateral atau bilateral. Penyebab dari Third eyelid protrusion adalah pada mata tersebut atau penyakit sistemik lain. Pada umumnya, Third Eyelid protrussion atau disebut Horner’s syndrome mempunyai gejala-gejala klinis yang berupa miosis, ptosis, dan enofthalmos.

Kemungkinan terjadinya kelainan mata pada kucing yang dioperasi enukleasi adalah diawali oleh terjadinya entropion, kemudian entropion dengan cilia yang masuk ke arah dalam akan mengiritasi kornea dan menyebabkan terjadinya keratitis serta konjunctivitis. Kondisi seperti ini yang berlangsung lama dapat menyebabkan kondisi kronis yang menyebabkan mata kucing sebelah kiri kehilangan fungsi normalnya.

Operasi enukleasi dapat dilakukan melalui dua prosedur, yaitu pendekatan subkonjunctival dan pendekatan transpalpebral. Objek utama dalam pendekatan subkonjunctival adalah pembuangan bola mata, membran nictitan, dan sedikit kelopak mata, dengan meminimalkan pengangkatan jaringan otot supaya kantung mata tidak menjadi kososng sehingga faktor estetika akan tetap terjaga. Keunggulan dari pendekatan subkonjunctival adalah pencapaian saraf opticus dan pembuluh darah lebih mudah sehingga akan menurunkan kerusakan dari optic chiasm. Operasi enukleasi pada pendekatan subkonjunctival dilakukan pembuangan semua kelenjar air mata karena apabila tidak dibuang maka kelenjar yang tersisa akan memproduksi air mata dan air mata tersebut tidak bisa dibuang, sehingga air mata tersebut akan mencari jalan lain sehingga membentuk suatu fistula yang menghubungkan antara rongga mata dan hidung.

Operasi enukleasi dengan pendekatan transpalpebral pada umumnya digunakan untuk mengurangi terjadinya kontak infeksi dari permukaan kornea dan metode pendekatan transpalpebral ini lebih sederhana untuk digunakan. Kerugian dari pendekatan transpalpebral adalah terdapat banyak perdarahan dan post operasi mata dengan metode pendekatan transpalpebral menghasilkan mata yang cekung.

Sebelum dilakukan pembiusan, dilakukan penyuntikan atropin secara IM yang bertujuan untuk tachicardia, untuk mencegah terjadinya muntah dan mencegah terjadinya aspirasi. Setelah 10 menit maka dilakukan penyuntikan xylazin dan ketamin sebagai obat untuk anesthesi. Dosis ketamin xylazin untuk maintenance adalah separuh dari dosis xylazin dan ketamin, dan dosis maintenance diberikan sampai menit ke 75. Pengambilan xylazin dan ketamin dilebihkan sedikit (0,18 ml yang seharusnya 0,14 ml) yang bertujuan untuk menghindari xylazin dan ketamin tertinggal di dalam spoit. Dapat dilihat bahwa setiap 15 menit sekali sampai menit ke-75 dilakukan penyuntikan dosis maintenance, hal ini kemungkinan kucing masih berumur muda sehingga fungsi hati dalam mendetoksikasi obat bius semakin besar.

Ketamin digunakan untuk menginduksi anesthesi pada hewan (kucing) selama operasi. Menurut Martin (1989), ketamin merupakan anestesi disosiatif dan bekerja pada cortex frontal dan ketamin mempunyai kerja yang rendah terhadap formasi reticular. Ketamin mempunyai onset yang cepat dan ketamin dapat menghasilkan tahapan catalepsy dengan penghilangan kesadaran, analgesik tetapi sedikit bersifat muscle relaxan. Mata akan tetap terbuka dan dengan refleks faringeal dan laryngeal pada dosis tinggi. Dosis ketamin yang berlebih dapat menyebabkan depresi respirasi yang dicirikan oleh cyanosis dan depresi ventilasi. Convulsi myoclonis dapat terjadi ketika kucing diberikan stimulasi suara atau handling selama periode recovery. Mata yang tetap terbuka akibat pengaruh xylazin dapat dapat diberikan salep mata untuk mencegah terjadinya konjunctivitis dan peradangan pada mata.

Pemeriksaan kondisi fisik kucing selama operasi menunjukkan tidak adanya penyimpangan karena frekuensi jantung, nadi dan pernapasan masih dalam rentang normal. Namun, suhu tubuh mengalami penurunan pada menit ke -45, hal ini kemungkinan disebabkan oleh adanya efek dari obat bius yang digunakan. Selama operasi terjadi perdarahan yang banyak sehingga digunakan epinefrin yang berfungsi sebagai vasokonstriktor sehingga darah tidak akan keluar dalam jumlah yang banyak. Selain itu juga dilakukan penyuntikan vitamin K secara IM, vitamin K tersebut berfungsi sebgai agen hemostatikum. Penutupan mata dilakukan dengan jahitan sederhana pada kulit dan dengan mengambil sebagian otot yang tersisa, serta penjahitan dilakukan dengan menggunakan cat gut berukuran 2-0.

Perawatan kucing post operasi dilakukan dengan pemberian amoxicillin sebanyak 0,84 ml dua kali sehari dengan durasi sampai 5 hari. hari ke-1 dan hari ke-2 post operasi menunjukkan terjadinya peradangan yang ditandai dengan adanya peningkatan suhu, peningkatan frekuensi jantung dan nadi, serta peningkatan frekuensi nafas. selain itu, pada hari ke-1 post operasi, nafsu makan kucing menunjukkan penurunan, sedangkan pada hari ke-2 sampai hari ke-7 menunjukkan nafsu makan kucing mengalami peningkatan. Frekuensi defekasi dan urinasi post operasi menunjukkan tidak adanya kelainan, hal ini ditandai dengan adanya feses dan urin setiap hari dari hari ke-1 sampai hari ke-7. Perawatan operasi pada hari ke-1 dan ke-2 dilakukan dengan penekanan pada daerah mata yang dioperasi, hal ini bertujuan untuk mengurangi terjadinya akumulasi cairan yang dapat menghambat persembuhan.

Pengamatan kondisi fisik kucing tujuh hari post operasi menunjukkan kucing tidak mengalami kelainan pada mata sebelah kanan atau kelainan pada tubuh kucing. Namun menurut Khan (2005), enukleasi mata secara eksperimental dapat mengisolasi sel-sel ganglion retina dari akson. Kondisi ini dapat mengawali degenerasi akson yang terkandung dalam nervus opticus dan saluran optic sampai nucleus geniculate lateral. Nucleus geniculate lateral merupakan posisi yang sangat penting pada jalur visual diantara retina dan cortex visual. Nucleus geniculate lateral ini berfungsi dalam penerimaan input dari retina, cortex visual, dan pusat-pusat subcortical lainnya. Input dari retina ke nucleus geniculate lateral yang utama berasal dari retina kontralateral.

KESIMPULAN

Enukleasi dapat dilakukan pada bola mata yang sudah mengalami kerusakan kronis serta enukleasi dapat dilakukan dengan alasan estetika. Indikasi dari enukleasi adalah kelainan pada mata yang bersifat kronis dan tidak dapat disembuhkan dengan pengobatan lokal atau sistemik. Beberapa kelainan yang menjadi indikasi enukleasi adalah entropion, keratitis, dan konjunctivitis yang menjadikan mata kehilangan fungsinya,

DAFTAR PUSTAKA

Andrew SE. 2001. Ocular manifestations of feline herpesvirus. Journal of Feline Medicine and Surgery 3:9-16.

Birchard SJ dan Sherding RG. 2000. Saunders Manual of Small Animal Practice, 2nd Edition. WB Saunders Company. hal 1360-1361.

Dharmojono H. 2002. Kapita Selekta Kedokteran Veteriner. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.

Eldredge DM, Carlson DG, Carlson LD, Giffin JM. 2008. Cat Owner’s Home Veterinary Handbook, 3rd Edition. New Jersey : Willey Publishing, Inc.

Fossum TW, et al. 2002. Small Animal Surgery, 2nd Edition. USA : Mosby. hal 225-226.

Khan AA. 2005. Effects of monocular enucleation on the lateral geniculate nucleus (LGN) of rabbit : a qualitative light and electron microscopic study. Biomedical Research 16(1):1-5.

Martin RJ. 1989. Small Animal Therapeutics. UK : Wright. hal 102-103.

Narfström K. 1999. Review hereditary and congenital ocular disease in the cat. Journal of Feline Medicine and Surgery 1:135-141.

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Protein hewani mempunyai manfaat yang cukup besar dalam membangun ketahanan pangan dan juga menciptakan sumberdaya manusia (SDM) yang sehat dan cerdas. UNICEF mengakui bahwa perbaikan gizi yang didasarkan pada pemenuhan kebutuhan protein mempunyai kontribusi sekitar 50% terhadap pertumbuhan ekonomi negara-negara maju. Protein dapat dibagi menjadi dua, yaitu protein hewani dan protein nabati. Kandungan gizi yang terdapat dalam protein hewani lebih tinggi dibandingkan protein nabati. Keunggulan protein hewani dibanding dengan protein nabati adalah protein atau pangan hewani terasa gurih atau enak karena mengandung protein dan lemak yang banyak, pangan hewani mengandung protein yang lebih berkualitas karena mudah digunakan oleh tubuh dan mempunyai komposisi asam amino yang lengkap, pangan hewani mengandung berbagai zat gizi mineral yang tinggi dan mudah digunakan oleh tubuh (misalnya kalsium, zat besi, zink, dan selenium), pangan hewani mengandung vitamin yang tidak dimiliki oleh pangan nabati, misalnya adalah vitamin B12 yang tidak terdapat pada pangan nabati.

Bahan pangan asal hewan (daging) dalam penyediannya harus memperhatikan prinsip aman, sehat, utuh, dan halal (ASUH). Aman mengandung arti bahwa bahan pangan asal hewan tidak mengandung bahaya-bahaya biologis, kimiawi, dan fisik atau bahan-bahan yang dapat mengganggu kesehatan manusia. Sehat mempunyai arti bahwa bahan pangan asal hewan harus mengandung bahan-bahan yang dapat menyehatkan manusia atau bahan pangan tersebut harus baik untuk kesehatan. Utuh mengandung arti bahwa bahan pangan asal hewan tersebut tidak dikurangi atau dicampur dengan bahan lain. Sedangkan halal mempunyai arti bahwa penyediaan bahan pangan asal hewan harus sesuai dengan syariat agama Islam.

Daging merupakan bahan makanan yang mempunyai kandungan gizi tinggi untuk manusia. Selain itu, daging juga merupakan bahan pangan yang bersifat mudah rusak (perishable food) dan bahan pangan yang berpotensi bahaya (potentially hazardous food). Konsumen yang mempunyai resiko tinggi terhadap bahaya daging atau produk pangan lainnya adalah golongan balita dan anak-anak, orang tua, ibu hamil, serta golongan orang yang mengalami gangguan sistem imun.

Bahan pangan asal hewan (daging) juga sangat rentan terhadap kontaminasi mikrobiologi dan kontaminasi logam berat. Apabila daging terkontaminasi oleh logam-logam berat seperti As, Hg, Pb, dan Cd, maka bahan pangan asal hewan tersebut menjadi tidak aman untuk dikonsumsi. Keberadaan logam-logam berat pada daging atau jaringan ternak pada umumnya disebabkan oleh pengaruh pencemaran pakan dan air minum, sehingga akan menimbulkan suatu residu di dalam jaringan ternak.

Logam berat seperti timbal (Pb) dan kadmium (Cd) bersumber dari lingkungan yang tercemar. Logam berat merupakan komponen yang berbahaya karena logam berat dapat berakumulasi dalam jaringan tubuh hewan dan manusia. Logam berat Pb dan Cd merupakan kategori limbah bahan beracun dan berbahaya, sehingga apabila dosisnya melebihi normal maka dapat mengakibatkan keracunan. Logam berat tersebut tidak memberikan efek secara langsung dalam waktu pendek terhadap kesehatan manusia tetapi gangguan kesehatan akan terjadi dalam jangka waktu lama karena logam berat terakumulasi di dalam jaringan tubuh. Beberapa gangguan kesehatan pada manusia akibat logam berat timbal (Pb) dan kadmium (Cd) adalah anemia, gangguan pada berbagai organ tubuh, serta penurunan kecerdasan, dan anak-anak merupakan golongan utama yang rentan terhadap keracunan logam berat dalam pangan.

 

TINJAUAN PUSTAKA

Dampak Cemaran Logam Berat Pada Ternak

Menurut Miranda et al. (2005), logam-logam berat merupakan senyawa alami yang terdapat di lingkungan, tetapi aktivitas manusia seperti kegiatan industri dan pertambangan telah menyebabkan penyebaran yang lebih luas dari logam berat. Logam-logam berat tersebut akan terakumulasi di tanah dan tanaman, serta ternak yang memakan tenaman tersebut. Logam berat dapat masuk ke dalam tubuh ternak melalui pernapasan dari udara yang tercemar (Tataruch 1995 diacu dalam Korenekova et al. 2002) dan mengkonsumsi pakan yang tercemar (Hronec 1996 diacu dalam Korenekova et al. 2002), sehingga menurut Tahvonen (1996) diacu dalam Korenekova et al. (2002), logam-logam berat akan mengalami bioakumuasi di organ dan jaringan hewan.

Menurut Puls (1994) diacu dalam Miranda et al. (2005), kadmium (Cd) dan timbal (Pb) mempunyai efek yang sama terhadap metabolisme mangan. Namun, mekanisme interaksi dengan metabolisme mangan masih belum dapat diketahui. Menurut Garrick et al. (2003) diacu dalam Miranda et al. (2009), kadmium dan timbal terlibat dalam kompetisi terhadap transport selular yang mengkontrol pengambilan logam oleh sel dan lalu lintas penyerapan logam oleh sel.

Menurut Wardhayani dkk (2006), tempat pembuangan akhir (TPA) sampah sering dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai lokasi pemeliharaan ternak, karena sampah dapat dimanfaatkan sebagai sumber pakan ternak. Pemikiran masyarakat timbul untuk memelihara sapi di lingkungan TPA karena pertimbangan bahwa sampah organik yang dibuang masih mempunyai nilai gizi yang cukup tinggi sehingga dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Ternak yang dipelihara di lingkungan TPA sampah adalah ternak ruminansia seperti kambing dan sapi. Sapi yang mengkonsumsi sampah dari TPA mempunyai resiko tinggi terpapar bahan toksik. Salah satu bahan toksik berpotensi menjadi faktor resiko adalah logam timbal (Pb).

Menurut Wardhayani dkk (2006), timbal (Pb) merupakan mineral logam berat dan berpotensi menjadi bahan toksik jika terakumulasi di dalam tubuh, sehingga berpotensi menjadi bahan toksik pada makhluk hidup. Masuknya unsur timbal (Pb) ke dalam tubuh hewan dapat melalui saluran pencernaan (gastrointestinal), saluran pernapasan (inhalasi), dan penetrasi melalui kulit (topikal). Sapi yang dipelihara di TPA sampah akan sangat berbahaya apabila kemudian dimanfaatkan sebagai sumber pangan manusia karena bahan pangan asal hewan tersebut memiliki kemungkinan akan mengakumulasi timbal (Pb), sehingga dapat menyebabkan gangguan kesehatan.

 

Bahaya dan Dampak Negatif Pangan Asal Hewan Yang Tercemar

Menurut Bahri (2008), bahaya atau hazard yang berkaitan dengan keamanan pangan asal hewan dapat terjadi pada setiap mata rantai, mulai dari praproduksi di produsen, pascaproduksi sampai produk tersebut didistribusikan dan disajikan kepada konsumen. Bahaya tersebut meliputi penyakit ternak, penyakit yang ditularkan melalui pangan atau foodborne diseases, serta cemaran atau kontaminan bahan kimia dan bahan toksik lainnya.

Menurut Bahri (2008), daging, susu, dan telur dapat tercemar oleh obat-obatan, senyawa kimia, dan toksin pada waktu proses praproduksi maupun produksi. Residu obat seperti antibiotik dapat dijumpai pada daging apabila pemakaian obat-obatan hewan tidak sesuai dengan petunjuk yang diberikan (misalnya waktu henti obat yang tidak dipatuhi menjelang hewan dipotong). Senyawa kimia dan toksin seperti pestisida, logam berat, dan mikotoksin/aflatoksin dapat mengkontaminasi pakan ternak dan akan mengalami penimbunan dalam jaringan tubuh ternak. Dampak negatif dari cemaran pada bahan pangan asal hewan adalah dampak terhadap perdagagangan (hambatan dan penolakan), dampak terhadap kesehatan manusia, dan dampak sosial.

Menurut Wardhayani dkk (2006), daging sapi yang pernah digembalakan di tempat pembuangan akhir (TPA) sampah menunjukkan adanya kandungan timbal (Pb). Selain itu, bagian tubuh sapi yang mengandung timbal adalah ginjal, usus, hati, dan lambung. Daging yang mengandung timbal dapat masuk ke dalam rantai makanan manusia jika daging tersebut dikonsumsi oleh manusia.

 

Dampak Residu Timbal (Pb) Terhadap Kesehatan Manusia

Menurut Mor et al. (2009), logam-logam berat seperti timbal (Pb), kadmium (Cd), arsen (As), dan merkuri (Hg) merupakan senyawa polutan yang terdapat di dalam tubuh manusia, walaupun terdapat logam-logam berat lain seperti zink (Zn), besi (Fe), kobalt (Co), dan selenium (Se) yang merupakan elemen normal yang dibutuhan tubuh untuk berkembang. Efek toksik dari logam-logam berat adalah menyebabkan efek teratogenik pada embrio. Asupan yang berlebih dari merkuri, timbal, kadmium, arsen, aluminium, tembaga, zink, besi, selenium, dan kromium dapat menyebabkan terjadinya gangguan sistem imun.

Timbal (Pb) dapat menyebabkan pencemaran pada makanan, kondisi ini diakibatkan oleh polusi timbal melalui penggunaan cat atau pestisida. Kadar timbal yang diijinkan pada hewan lebih tinggi dari kadar di manusia. Menurut EPA, kadar timbal yang diijinkan pada air minum hewan adalah 100 μg/l5. WHO menentukan bahwa kadar timbal yang diijinkan masuk ke dalam tubuh per minggu adalah 3 mg/orang.

Absorpsi dan akumulasi timbal (Pb) dalam tubuh dapat mencapai kadar toksik. Konsentrasi timbal pada tulang dan juga jaringan lunak mempunyai efek toksik. Pada kasus kehamilan, kalsium akan dimobilisasi dari tulang dan merupakan tanda dari keracunan timbal. Akumulasi timbal juga dapat menyebabkan efek toksik pada sistem saraf dan sistem hematopoietik, serta dapat menyebabkan kerusakan hati dan ginjal. Timbal juga dapat menyebabkan abnormalitas kongenital dan abnormalitas saraf postnatal melalui plasenta.

Apabila konsentrasi timbal (Pb) kurang dari 40 μg/l di dalam darah maka konsentrasi timbal tersebut tergolong normal. Apabila konsentrasi timbal mencapai 40 – 80 μg/l di dalam darah, maka akan menyebabkan terjadinya anemia dan gejala saraf, serta kerusakan ginjal. Sedangkan apabila konsentrasi timbal di dalam darah mencapai 10 – 25 μg/dl di dalam darah maka dapat menyebabkan kehilangan fetus.

Menurut Panggabean dkk (2008), Timbal (Pb) yang masuk ke dalam saluran pencernaan akan diabsorpsi oleh dinding usus, kemudian akan masuk ke dalam darah dan berikatan dengan hemoglobin yang akan menghambat pembentukan sel darah merah sehingga sel darah merah akan mudah pecah dan menyebabkan anemia. Timbal merupakan logam berat yang sangat beracun dan sifat racun berasal dari komponen gugus alkyl timbal yang biasanya digunakan sebagai bahan aditif bensin. Timbal dapat menyebabkan gangguan pada sistem saraf, hematologi, dan mempengaruhi kerja ginjal. Apabila timbal terserap melalui pernapasan maka akan menyebabkan keracunan tehadap sel endotel dan kapiler darah di otak.

Menurut Wardhayani dkk (2006), logam timbal (Pb) yang masuk ke dalam tubuh manusia melalui makanan akan terserap dalam aliran darah, setelah itu timbal akan dikeluarkan dari tubuh melalui feses dan urine, serta sisanya akan tersimpan di dalam tubuh terutama pada bagian tulang dan gigi. Timbal (Pb) mempengaruhi hampir setiap organ dan sistem dalam tubuh termasuk saluran gastrointestinal, sistem hematopoietik, sistem kardiovaskuler, sistem saraf pusat dan perifer, ginjal, sistem kekebalan, serta sistem reproduksi. Dampak timbal terhadap ibu hamil dengan kadar tinggi adalah dapat menyebabkan kelahiran premature dan bobot bayi lebih kecil, serta diikuti dengan kesulitan pembelajaran dan lambatnya pertumbuhan anak.

 

PEMBAHASAN

Pakan memegang peranan terpenting atau peranan kritis dalam sistem keamanan pangan asal hewan. Pakan yang tercemar akan berinteraksi dengan jaringan atau organ di dalam tubuh ternak. Apabila cemaran senyawa toksik tersebut kadarnya cukup tinggi maka dengan cepat akan menyebabkan kematian pada ternak. Dalam jumlah kecil, cemaran tidak menimbulkan efek langsung, tetapi akan terus berada di dalam tubuh. Sebagian senyawa kimia/toksik di dalam tubuh akan dimetabolisme menjadi senyawa metabolit yang kurang toksik dan sebagian lebih toksik daripada senyawa asalnya.

Apabila pakan yang dikonsumsi oleh ternak terkontaminasi oleh senyawa kimia atau senyawa toksik maka residu dari senyawa kimia tersebut akan terakumulasi dalam jaringan atau organ tubuh dengan konsentrasi yang bervariasi.

Logam berat seperti timbal (Pb) dapat masuk ke dalam bahan pangan asal hewan dan menimbulkan residu, hal ini disebabkan oleh pencemaran lingkungan pada masa pemeliharaan hewan dan kontaminasi pada waktu proses produksi. Kontaminasi pakan dan pencemaran lingkungan dapat menyebabkan terakumulasinya logam berat dalam jaringan ternak, terutama dalam jeroan yaitu pada hati dan ginjal. Keberadaan Pb di dalam jaringan ternak pada umumnya disebabkan oleh pengaruh pencemaran Pb di dalam rumput dan air minum yang terkontaminasi limbah timbal akibat dari aktivitas suatu industri. Sedangkan kontaminasi pada waktu proses produksi dapat menyebabkan kontaminasi logam berat pada daging dan jaringan lainnya. Kontaminasi/pencemaran pada saat proses produksi dapat terjadi pada saat proses pemotongan, pengemasan atau pengolahan daging). Produk olahan dari daging sapi juga dapat mengalami pencemaran oleh Pb, misalnya adalah bakso sapi. Kandungan Pb dalam produk bakso sapi dapat disebabkan oleh kontaminasi timbal (Pb) saat praproduksi atau produksi melalui pakan ternak dan air minum ternak pada saat praproduksi atau air yang digunaan saat produksi produk olahan tersebut. Kandungan Pb pada air yang digunakan untuk produksi atau pengolahan daging dapat disebabkan oleh pengikisan Pb pada saluran air. Kandungan Pb di dalam daging dan jeroan sapi pernah dilaporkan oleh Wardhayani dkk (2006) yang melaporkan kandungan Pb dari daging sapi yang pernah digembalakan di tempat pembuangan akhir (TPA) sampah Semarang, serta kandungan Pb juga pernah dilaporkan oleh Panggabean dkk (2008) yang melaporkan kandungan Pb di dalam jeroan sapi (hati dan ginjal) di wilayah jakarta.

Keberadaan berbagai residu logam berat pada daging dan bahan pangan asal hewan lainnya menggambarkan adanya permasalahan pada proses praproduksi, produksi, dan pascaproduksi. Sehingga dibutuhkan suatu pengawasan dan penerapan peraturan tentang keamanan pangan. Permasalahan pada proses praproduksi merupakan penyebab utama keberadaan residu logam berat atau residu senyawa kimia lain. Untuk melindungi konsumen dari bahaya residu dalam produk pangan asal hewan diperlukan peraturan yang mengatur tentang ambang batas cemaran mikroba dan residu dalam bahan pangan asal hewan, seperti peraturan pada SNI No. 01-6366-2000 tentang batas cemaran mikroba dan batas maksimum residu dalam bahan makanan asal hewan.

Upaya lain untuk mengatasi permasalahan residu pada bahan pangan asal hewan adalah penyusunan surveilans atau monitoring terhadap residu. Selain itu, keamanan pangan dimulai sejak ternak dipelihara di peternakan, sehingga keamanan dan kualitas ternak serta produknya sangat tergantung terhadap keamanan pakan dan sumber-sumber pakan, air, serta lingkungan. Beberapa hal yang harus diperhatikan untuk memperoleh produk pangan asal hewan yang aman dikonsumsi adalah pengontrolan penyakit secara biologis dengan menghindari penggunaan bahan-bahan kimia atau obat-obat berbahaya secara berlebihan, penggunaan pakan yang bebas dari cemaran mikrobiologis dan bahan berbahaya lainnya, serta menggunakan sumber air yang bebas dari cemaran logam berat berbahaya maupun mikroorganisme patogen. Selain itu, tempat pengolahan bahan pangan asal hewan merupakan tempat atau daerah yang jauh dari lingkungan industri.

 

KESIMPULAN

Bahan pangan asal hewan merupakan bahan pangan yang mempunyai kandungan gizi tinggi bagi manusia. Penyediaan bahan pangan asal hewan harus memenuhi prinsip aman, sehat, utuh, dan halal. Keamanan bahan pangan asal hewan dapat dilihat dari tidak adanya kandungan logam berat yang berbahaya bagi kesehatan, misalnya adalah timbal (Pb). Pencemaran timbal dalam pangan asal hewan dapat diakibatkan oleh proses praproduksi, produksi, dan pascaproduksi. Timbal (Pb) merupakan mineral logam berat dan berpotensi menjadi bahan toksik jika terakumulasi di dalam tubuh, sehingga berpotensi menjadi bahan toksik pada makhluk hidup.

 

DAFTAR PUSTAKA

Bahri S. 2008. Beberapa aspek keamanan pangan asal ternak di indonesia.Pengembangan Inovasi Pertanian. 1 (3): 225-242.

Daryanto AD. 2008. Peranan Protein Hewani Dalam Peningkatan IPM. Trobos No. 104 Tahun VIII. Hal. 58-59.

Hardinsyah. 2008. Cerdas Dengan Pangan Hewani. Trobos No. 104 Tahun VIII. Hal. 24-25.

Korenekova B, Skalicka M, Nad P. 2002. Concentration of some heavy metals in cattle reared in the vicinity of a metallurgic industry. Veterinarski Arhiv. 72 (5): 259-267.

Miranda M, et al. 2005. Effects of moderate pollution on toxic and trace metal levels in calves from a polluted area of northern spain. Environment International. 31: 543-548.

Mor F, Kursun O, Erdogan N. 2009. Effects of heavy metals residues on human health. Uludang Univ. J. Fac. Vet. Med. 28(1): 59-65.

Panggabean TA, Mardhiah N, Silalahi EM. 2008. Logam Berat Pb (Timbal) Pada Jeroan Sapi. Prosiding PPI Standardisasi. http:// www.bsn.go.id/files/%40LItbang/PPIS%25202008/PPIS%2520Jakarta/10%2520-%2520LOGAM%2520BERAT%2520Pb.pdf [17 April 2010].

Rudyanto MD. 2008. Karakteristik Kualitas Daging. Infovet Edisi 173. Hal. 48.

Wardhayani S, Setiani O, D Hanani Y. 2006. Analisis risiko pencemaran bahan toksik timbal (Pb) pada sapi potong di tempat pembuangan akhir (TPA) sampah jatibarang semarang. J kesehat Lingkung Indones. 5(1).

Laporan ujian nekropsi unggas

Hari, tanggal nekropsi               : Senin, 29 Maret 2010

No. protokol U                        : U66

Dosen penguji                           : Drh. Hernomoadi Huminto, MVS

 

Signalemen

Jenis unggas                              : ayam layer

Bangsa                                     :

Jenis kelamin                            : betina

Umur                                        : 33 – 35 minggu

Tanggal mati                             : 29 Maret 2010

Tanggal nekropsi                      : 29 Maret 2010

Nama peternak             : Pak Amin

Alamat peternak                       : Parung

 

Anamnese

Akan dilakukan isolasi bakteri pada saluran pernapasan dan saluran pencernaan ayam.

 

Laporan Pemeriksaan Hasil Nekropsi

Organ Epikrise Diagnosa PA
Keadaan Umum Luar

  • Kulit dan bulu
  • Mata
 

Tidak ada kelainan

 

Tidak ada kelainan

 
Subkutis

  • Perlemakan
  • Otot
 

Tidak ada kelainan

Tidak ada kelainan

 
Rongga Tubuh

  • Situs Viserum

 

 

Situs viserum tidak ada perubahan posisi.

Terdapat eksudat berwarna kuning (1/3)

 

 

 

peritonitis

Traktus Respiratorius

  • Kantung hawa

 

  • Sinus hidung

 

  • Khoane

 

  • Laring

 

  • Trakhea

 

  • Paru-paru

 

 

 

Kantung hawa keruh dan terdapat eksudat fibrinous (3/3)

Sinus hidung berwarna merah (3/3)

 

Khoane berwarna merah (3/3)

 

Laring terdapat eksudat serous (1/3)

 

Tidak ada kelainan

 

Tidak ada kelainan, paru-paru terlihat berwarna merah muda dan mengapung ketika dilakukan uji apung

 

Air sacculitis

 

Sinusitis

 

Rhinitis

 

Laringitis

 

 

 

Traktus digestivus

  • Rongga mulut
  • Esofagus
  • Tembolok
  • Proventrikulus
  • Gizzard
  • Usus halus

 

 

 

 

 

  • Usus besar
  • Sekum
  • Seka tonsil

 

  • Hati

 

  • Pankreas
.

Tidak ada kelainan

Tidak ada kelainan

Tidak ada kelainan

Tidak ada kelainan

Ditemukan erosi di gizzard (1/3)

Usus terlihat sedikit menggembung, terjadi hiperemi dan usus berisi makanan (3/3). Di usus halus ditemukan hiperemi (1/3), hemorhagi (2/3), serta ditemukan eksudat katarrhalis (2/3)

Tidak ada kelainan pada usus besar

Tidak ada kelainan pada sekum

Pada seka tonsil ditemukan hemorrhagi (3/3)

 

Hati berwarna kekuningan (2/3)

 

Tidak ada kelainan

 

 

 

 

 

Ventrikulitis

Enteritis katarrhalis

 

 

 

 

Typhlitis

 

Degenerasi lemak

Traktus Sirkulatorius

  • Jantung
  • Pembuluh darah
 

Tidak ada kelainan

Tidak ada kelainan

 
Sistem Limforetikular

  • Limpa
 

Tidak ada kelainan

 

 

 

Traktus Urogenitalia

  • Ginjal
  • Ureter
  • Ovarium
  • Oviduct
 

Terjadi pembengkakan pada ginjal (2/3)

Tidak ada kelainan

Ovarium pecah di ruang abdomen (1/3)

Terdapat eksudat katarrhal (1/3) dan eksudat purulenta (2/3)

 

Nephrosis

 

Oophoritis

Salphyngitis

 

Sistem Syaraf Pusat dan Perifer

  • Otak
  • Syaraf perifer
 

 

Tidak ada kelainan

Tidak ada kelainan

 
Sistem Lokomosi

  • Otot
  • Tulang
  • Persendian
 

Tidak ada kelainan

Tidak ada kelainan

Tidak ada kelainan

 

 

Diagnosa Kausalis                    : Infectious Bronchitis

Diagnosa Banding                     : Infectious Bursal Disease (gumboro), Newcastle  Disease (ND), Egg drop syndrome, defisiensi mineral (Calcium dan Phosphor), defisiensi vitamin D

 

 

PEMBAHASAN

Pengamatan hasil nekropsi pada tiga ayam layer yang berumur 33 – 35 minggu diperoleh hasil bahwa lesio yang banyak ditemukan adalah pada saluran pernapasan, saluran urogenitalia, dan saluran pencernaan. Lesio pada saluran pernapasan berupa kemerahan pada sinus hidung dan khoane yang pada keadaan normal berwarna pucat. Adanya warna merah pada sinus hidung dan khoane menandakan bahwa terjadi sinusitis dan rhinitis. Kelainan pada saluran respirasi yang lainnya adalah adanya eksudat serous pada laring yang menandakan terjadinya laringitis. Selain itu, pada kantung hawa (air sac) juga mengalami kelainan yaitu berupa kekeruhan dan terdapat eksudat fibrin, hal ini menandakan bahwa terjad air sacculitis. Kelainan patologi anatomi pada saluran urogenitalia antara lain dapat ditemukan pada ginjal, ovarium, dan oviduc/saluran telur. Kelainan pada ginjal berupa pembengkakan pada ginjal (2/3), hal ini menandakan terjadinya nephrosis. Kelainan pada ovarium berupa pecahnya telur di dalam rongga abdomen, hal ini menandakan terjadinya oophoritis. Kelainan pada oviduct/saluran telur adalah berupa terdapatnya eksudat katarrhal (1/3) dan eksudat purulenta (2/3), hal ini menandakan terjadinya salphyngitis. Selain itu, kelainan lain yang dapat ditemukan adalah terjadinya peritonitis (1/3), pada kelainan ini dapat terlihat rongga abdomen dpenuhi oleh eksudat berwarna kuning dan peritoneum terlihat keruh (terdapat eksudat fibrinous). Eksudat tersebut kemungkinan dapat berasal dari pecahnya telur di rongga abdomen sehingga menimbulkan peritonitis.

Kelainan/lesio utama yang dapat menimbulkan penurunan produksi maupun penurunan kualitas telur ayam layer adalah kelainan pada saluran pencernaan dan saluran urogenitalia. Kelainan pada saluran pencernaan terutama pada usus dapat menyebabkan malabsorpsi sehingga dapat terjadi malnutrisi yang akan berdampak pada penurunan produksi dan kualitas telur. Kelainan pada usus dapat berupa rusaknya vili usus karena peradangan yang disebabkan oleh infeksi mikroorganisme (bakteri dan virus). Hasil nekropsi ditemukan terjadinya enteritis katarrhalis yang kemungkinan dapat menyebabkan terjadinya gangguan dalam penyerapan nutrisi di usus. Menurut Runnells et al. (1965), enteritis merupakan peradangan pada usus dan enteritis klasifikasikan berdasarkan ciri eksudat yang dihasilkan yang merupakan respon usus terhadap adanya iritasi atau infeksi. Jenis dari enteritis berdasarkan ciri eksudat adalah enteritis katarrhalis, fibrinous, hemorrhagika, suppurativa, dan nekrotik. Enteritis katarrhalis merupakan jenis peradangan pada usus yang bersifat ringan dan eksudat yang dihasilkan berupa mucus. Beberapa penyakit yang dapat menyebabakan terjadinya enteritis adalah salmonellosis, ND dan Avian Influenza (AI). Selain itu helminthiasis juga dapat menyebabkan enteritis. Namun, pada sampel ayan yang dinekropsi, enteritis katarrhalis yang dicirikan oleh adanya eksudat katarrhal sampai fibrinous dan ptechie pada mukosa usus kemungkinan disebabkan oleh infeksi virus ataupun infeksi sekunder oleh bakteri, karena berdasarkan sejarah, ayam tersebut pernah mendapatkan pengobatan antibiotik berupa lincomisin-streptomisin dan kemudian kloramfenikol. Penggantian antibiotik dalam jangka pendek dapat menyebabkan flora normal usus menjadi terganggu sehingga infeksi oleh mikroorganisme lain dapat terjadi (mikroorganisme patogen). Hal ini akan menyebabkan gangguan/kerusakan pada vili-vili usus sehingga dapat terjadi malabsorbsi. Mikroorganisme patogen yang dapat menyebakan terjadinya enteritis adalah salmonella (Salmonella enteritidis) dan Escherichia coli. Pada spesies lain yaitu burung merpati, enteritis katarrhalis disebabkan oleh adenovirus tipe 1. Secara histologi dapat terlihat adanya atrofi vili usus dan badan inklusi intranuklear pada epitel usus. Kondisi ini dapat menyebabkan terjadinya infeksi sekunder oleh Escherichia coli yang akan memperparah dan memperlama penyakit. Akhir dari kondisi seperti ini adalah terjadinya kematian karena terjadi septicaemia E. coli.

Selain kelainan pada usus, kelainan pada traktus digestivus lain yang dapat menyebabkan penurunan produksi dan kualitas telur adalah kelainan pada pankreas, misalnya terjadi peradangan pada pankreas. Kelainan ini dapat menyebabkan menurunnya ekskresi enzim-enzim pencernaan sehingga akan terjadi maldigesti yang akhirnya akan berdampak pada kejadian malnutrisi. Sampel ayam yang diperiksa melalui nekropsi tidak menunjukkan terjadi kelainan pada pankreas.

Gangguan produksi berupa penurunan produksi dan kualitas telur (kerabang yang rapuh) juga dapat disebabkan oleh ketidakseimbangan kalsium dan fosfor, serta defisiensi vitamin D. Kalsium pada unggas dan hewan lain dibutuhkan untuk terjadinya ossifikasi tulang, kalsifikasi kartilago, pengaturan tonus otot skelet dan jantung, koagulasi darah, menjaga tekanan osmotik dan pH, serta membantu membentuk kerabang telur pada unggas. Metabolisme kalsium dan fosfor erat kaitannya dengan vitamin D. Ayam layer sangat membutuhkan kalsium dalam jumlah yang mencukupi, apabila kebutuhan kalsium selama masa produksi tidak terpenuhi maka tulang pada ayam layer akan mengalami deplesi dan osteoporosis, serta penurunan kualitas kerabang telur. Menurut Runnells et al. (1965), cadangan kalsium disimpan di dalam tulang (jaringan osteoid), dan tersimpan bersama dengan fosfor an mineral lain. Ayam layer yang mengalami defisiensi vitamin D (terutama vitamin D3) akan menunjukkan gejala klinis berupa penurunan produksi telur dalam 2 – 3 minggu, serta terjadi gangguan pada kualitas kerabang telur. Menurut Runnells et al. (1965), fungsi dari vitamin D adalah meningkatkan jumlah/kadar kalsium dan fosfor di dalam tubuh, mengontrol konsentrasi kalsium dan fosfor di dalam darah, dan membantu deposisi kalsium dalam tulang. Defisiensi kalsium, fosfor, dan vitamin D3 dapat menyebabkan terjadinya kematian mendadak atau paralisis pada ayam petelur/layer ketika masa perkerabangan telur. Hal ini berkaitan dengan kebutuhan kalsium yang tinggi untuk membentuk kerabang telur. Kondisi yang dapat terlihat ketika dilakukan pemeriksaan postmortem adalah osteoporosis, telur (ova) akan mengalami regresi, dengan tiak ada telur di alam oviduct, femur menjadi rapuh, serta sumsum tulang sering tidak ada ketika terjadi osteoporosis. Osteoporosis merupakan penyebab kematian terbesar pada ayam layer pada masa produksi tinggi. Pemeriksaan sampel telur ditemukan terjadinya penurunan kualitas kerabang telur (kerabang telur bersifat rapuh), tetapi pemeriksaan sampel ayam melalui nekropsi tidak ditemukan adanya osteoporosis, sehingga kemungkinan ayam layer tersebut tidak mengalami kekurangan mineral kalsium, fosfor, dan vitamin D.

Kelainan dan gangguan pada saluran urogenitalia merupakan salah satu penyebab penurunan produksi dan penurunan kualitas telur ayam. Lesio pada traktus urogenitalia yang terdiiri dari ginjal, ureter, ovarium, dan oviduct dapat disebabkan oleh beberapa kausa, diantaranya adalah infeksi bakteri atau infeksi virus. Bakteri yang menyebabkan lesio pada saluran urogenitalia diantaranya adalah Mycoplasma gallisepticum, Escherichia coli, Salmonella spp, dan Pasteurella multocida. Bakteri tersebut dapat menyebabkan gangguan pada produksi telur. Seangkan virus yang mempunyai tropisme di saluran urogenitalia adalah golongan coronavirus (infectious bronchitis virus), adenovirus (egg drop syndrome virus), birnavirus (infectious bursal disease virus), paramyxovirus (ND virus).

Menurut Thomas et al. (2007), waktu antara infeksi dengan penampakan gejala klinis biasanya terjadi pada dua sampai enam hari, tetapi dapat lebih lama, yaitu di atas 15 sampai 21 hari. Virus ND biasanya menyebabkan lesio pada satu atau lebih organ atau sistem tubuh, diantaranya adalah sistem saraf pusat, ginjal, saluran pencernaan, dan sistem respirasi. Strain virus ND highly pathogenic pada umumnya menyebabkan hemorrhagi dan nekrosis pada saluran pencernaan. Sedangkan strain yang kurang virulen dapat menyebabkan gangguan pada saluran respirasi dan sistem saraf. Lesio yang terjadi pada umumnya berupa hemorrhagi dan nekrosis pada mukosa trakhea dan bronchi, serta sering berkaitan dengan pneumonia dan infeksi sekunder oleh bakteri. Selain itu, lesio lain yang ditimbulkan adalah conjunctivitis dan rhinitis.

Egg drop syndrome virus merupakan virus kelompok adenovirus yang dapat menimbulkan lesio berupa produksi kerabang telur yang lunak. EDS menyerang ayam layer yang berumur 26 – 35 minggu. Virus mengalami replikasi di jaringan limfoid dan kemudian terjadi replikasi dalam jumlah besar dalam waktu 8 hari di oviduct, khususnya di bagian pembentuk kerabang. Eksudat yang dihasilkan oleh oviduct karena infeksi virus ini mengandung virus dalam jumlah yang banyak, sehingga dapat menjadi sumber kontaminasi ketika telur dikeluarkan. Kondisi ini menyebabkan virus EDS dapat menyebar secara horizontal dan vertikal (anak ayam yang menetas dapat mempunyai antibodi terhadap EDS). Kerabang telur yang lembek merupakan salah satu tanda utama dari infeksi EDS. Walaupun kerabang telur bersifat lembek, pada putih telur tidak mengalami perubahan yang artinya masih dapat dibedakan antara kental dan encer. Perubahan patologi anatomi yang dapat ditemukan apabila ayam terinfeksi oleh EDS adalah ovarium inaktif, oviduct mengalami atrofi, kadang-kadang ditemukan edema pada oviduct, splenomegali, serta telur (ova) yang membubur di ruang abdomen.

Infectious bursal disease (gumboro) merupakan salah satu virus yang juga menyerang saluran urogenitalian dan IBD disebabkan oleh birnavirus yang dapat diisolasi dari bursa fabricius dan organ-organ yang lainnya. Infectious bursal disease merupakan penyakit pada ayam yang bersifat contagious dan hasil infeksi tergantung pada umur dan breed ayam, serta virulensi virus. Infeksi dari IBD dapat berupa subklinis atau klinis. Infeksi sebelum tiga minggu pada umumnya bersifat subklinis. Ayam menjadi lebih peka ketika berumur 3 – 6 minggu. Infeksi subklinis dapat menyebabkan imunosupresi dalam waktu yang lama karena kerusakan limfosit yang belum dewasa di bursa fabricius, thymus, dan limpa. Selain itu, sel B (kekebalan humoral) juga terkena, serta sel T (kekebalan seluler) juga terserang tetapi dalam virulensi yang ringan. Ayam yang mengalami imunosupresi tidak dapat merespon dengan baik terhaap vaksinasi dan akan menjadi predisposisi terhadap infeksi virus-virus lain yang nonpathogenik dan bakteri. Sedangkan IBD bentuk klinis mempunyai onset yang tiba-tiba setelah masa inkubasi selama 3 – 4 hari. Gambaran patologi anatomi yang dapat terlihat ketika ayam terinfeksi virus IBD adalah pembengkakan pada ginjal dan terdapat endapan urat pada tubuli, perdarahan di otot dada dan otot paha, dehidrasi sehingga otot terlihat lebih gelap dan kering, isi usus bersifat mukoid dan anus banyak kotoran yang melekat, tulang menjadi lunak yang diakibatkan oleh ekskresi kalsium yang berlebihan dan pembengkakan pada limpa, serta pembengkakan pada bursa, tejadi edema bursa, hemorrhagi dan berisis eksudat perkejuan pada bursa fabricius.

Infectious bronchitis juga merupakan penyakit unggas yang sering menginfeksi saluran urogenitalia. Infectious bronchitis merupakan penyakit yang bersifat akut, menyebar dengan cepat, serta merupakan penyakit ayam yang dicirikan oleh gejala-gejala pada saluran respirasi, penurunan produksi telur, dan penurunan kualitas telur. Beberapa strain dari infectious bronchitis adalah bersifat nefropathogenik. Penyakit ini merupakan salah satu penyakit utama pada ayam petelur yang bersifat ekonomis. Virus IB dapat dikeluarkan/diekskresikan dari ayam yang terinfeksi melalui discharge respirasi dan feses. Virus yang bersifat sangat contagious dapat disebarkan melalui droplet-droplet airborne, ingesti dari air dan pakan yang terkontaminasi, serta peralatan kandang. Infectious bronchitis mempunyai masa inkubasi 18 – 48 hari, dan dapat menyebar ke unggas lain secara cepat, serta morbiditas dari penyakit ini sebesar 100%. Keparahan dari infectious bronchitis dipengaruhi oleh umur ayam dan status imun pada flok, serta virulensi dari virus. Ayam petelur yang terinfeksi oleh infectious bronchitis akan menampakkan gejala klinis berupa penurunan produksi telur sebanyak 5 – 50% dan terjadi penurunan kualitas telur, yaitu kerabang telur menjadi tipis, rapuh, mudah pecah, dan putih telur encer. Lesio patologi anatomi yan dapat terlihat adalah terdapat eksudat mucoid di trachea dan bronchi, dan pada umumnya tanpa disertai dengan hemorrhagi. Selain itu, gejala di saluran respirasi adalah terdapat masa kaseosa di trakhea unggas muda, air sac mengalami penebalan dan keruh. Infeksi sekunder yang sering mengikuti infeksi IB adalah bakteri colliform yang dapat menghasilkan eksudat kaseosa, air sacculitis, perihepatitis, pericarditis. Sedangkan IB dengan strain nefropathogenik dapat menyebabkan pembengkakan pada ginjal, ginjal pucat, serta tubuli ginjal dan ureter berisi urat. Mekanisme pebentukan asam urat yang mengendap di ginjal dan ureter adalah diawali dari virus IB yang bersifat nefropathogenik akan merusak epitel tubuli sehingga ekskresi asam urat akan terganggu. Kondisi seperti ini akan menyebabkan asam urat terakumulasi di ginjal dan ureter, dan karena kristal asam urat mempunyai ujung yang tajam, maka dapat melukai epitel. Keadaan ini akan memperparah kerusakan ginjal, dan asam urat yang terakumuasi akan mengalami mineralisasi dalam waktu lama. Virus IB dapat menginfeksi saluran reproduksi (oviduct) adalah disebabkan oleh viremia virus IB yang ada di ginjal kemudian menuju oviduct dan akan terjadi peradangan pada membran mukosa oviduct dan kemudian menyebabkan salphingitis. Sedangkan pada saluran telur dapat menyebabkan atrofi ovarium.

 

KESIMPULAN

Berdasarkan temuan-temuan patologi anatomi pada sampel ayam layer yang berupa kelainan di saluran urogenitalia beserta kelainan di saluran respirasi maka dapat diduga bahwa ayam tersebut terserang infectious bronchitis (IB). Selain itu, adanya enteritis katarrhalis di saluran pencernaan dapat disebabkan oleh infeksi oleh virus lain yang mengikuti infeksi oleh IB atau infeksi sekunder oleh bakteri patogen lain. Kemungkinan terjadinya infeksi bakteri sekunder diperkuat oleh sejarah ayam layer tersebut yang pernah diberikan pengobatan berupa dua macam antibiotik dalam jangka waktu pendek sehingga merusak flora normal usus. infeksi oleh bakteri atau virus lain dimungkinkan dapat terjadi karena dalam kondisi ini, ayam akan mengalami penurunan status imun sehingga mudah terinfeksi oleh mikroorganisme yang lain.

 

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2008. Calcium and Phosphorus Imbalances. http://www. merckvetmanual.com/mvm/index.jsp@cfile=htm_2Fbc_2Ftoc_2F206913.htm [29 Maret 2010].

Anonim. 2008. Egg Drop Syndrome. http://www.merckvetmanual. com/mvm/index.jsp@cfile=htm_2Fbc_2Ftoc_205900.htm [29 Maret 2010].

Anonim. 2008. Infectious Bronchitis. http://www.merckvetmanual. com/mvm/index.jsp@cfile=htm_2Fbc_2Ftoc_206500.htm [29 Maret 2010].

Anonim. 2008. Infectious Bursal Disease. http://www.merckvetmanual. com/mvm/index.jsp@cfile=htm_2Fbc_2Ftoc_203100.htm [29 Maret 2010].

Anonim. 2008. Necrotic Enteritis. http://www.merckvetmanual. com/mvm/index.jsp@cfile=htm_2Fbc_2Ftoc_201200.htm [29 Maret 2010].

Runnells RA, Monlux WS, Monlux AW. 1965. Principles of Veterinary Pathology 7th Ed. The Iowa State University Press. USA.

Thomas NJ, Hunter DB, Atkinson CT. 2007. Infectious Diseases of Wild Birds. Blackwell Publishing. USA.

Tully Jr. TN, Dorrestein GM, Jones AK. 2000. Handbook of Avian Medicine 2nd Ed. Saunders Elsevier.